Pornografi vs Vaksin Moral


Seorang remaja pria, 15 tahun, di dusun pinggiran Jakarta, sejak parabola mulai masuk ruang maya, asyik menyaksikan adegan seks program TV siaran Prancis di kamarnya, seorang diri. Tontonan yang sama bisa disaksikan diam-diam oleh banyak remaja kota sekarang dari Internet. Buat mereka, pengalaman itu rasanya lebih dahsyat mengguncang naluri seksualnya ketimbang goyangan Inul. Tapi siapa kuasa menangkalnya?

Di lingkungan kita, guncangan seks pada remaja yang seperti itu sudah lama berlangsung. Pada 1980-an, di Desa Dukuhseti, Jepara, misalnya, saya menyaksikan film berkategori panas ditayangkan melalui layar tancap buat umur berapa saja. Waktu itu, pergaulan seks remaja pedusunan Jawa Tengah pun tercatat sudah di luar rasa nyana kita (studi Sarlito Wirawan Sarwono). Penelitian Wimpie Pangkahila di Bali pada kurun yang sama menyimpulkan fakta serupa. Status tidak virgin sudah dilumrahkan sementara remaja.

Lebih dari itu, kini VCD adegan hot bisa dibeli dengan harga murah. Remaja memerkosa sehabis menonton film biru sudah sering masuk berita. Angka remaja kena penyakit kelamin lebih banyak daripada zaman dulu (kesan penulis setiap memberikan "pendidikan seks" di sekolah). Kawin muda, menjadi janda muda, dan permintaan aborsi terus meningkat, bagian dari dark number yang luput kita catat (sejak jauh hari menjelang Konferensi Kependudukan Sedunia di Mesir, 1994, tempat kita ikut meratifikasi "pendidikan seks" sebagai hak setiap remaja).

Itulah semua material seks (sexually explicit materials). Ia ibarat virus flu, ada dan tersebar di mana-mana, tanpa kita mungkin bisa menghindar darinya. Ketika informasi semakin mengabaikan rasa etika (tele-ethics), apa saja termasuk yang cabul bisa lolos mencemari batin dan nurani. Alih-alih membendungnya, menapisnya pun rasanya tak mungkin kita bisa. Taruhlah majalah dan koran kuning bisa kita berangus dan VCD biru kita tumpas. Tapi bagaimana dengan serbuan kecabulan yang merambah dunia maya siapa saja? Sebagaimana terhadap dunia prostitusi, upaya kita membendung atau memberantas material seks ketika dunia kian mengglobal seperti menggantang angin saja.

Jadi agaknya bukan virus seks itu benar yang menjadi pilihan untuk kita tumpas, melainkan bagaimana agar kita dan anak-anak "kebal" tidak terguncang oleh ancaman yang tak semuanya bisa kita sentuh itu. Bahwa kecabulan berkorelasi dengan perbuatan bejat dan tindakan agresif, sejumlah studi sudah membuktikannya. Bagi orang dewasa, ihwal kecabulan lebih pada persoalan etika, kesopanan publik, dan rasa adab kita. Itu tak perlu diperdebatkan benar karena definisi ilmiah buat kecabulan, sisi lain kepornoan, tidak mungkin jujur lagi ketika seks sudah dijadikan bisnis.

Kalau di otak yang menjual produk material seks dan yang membeli sama-sama ada pasirnya, percuma kita berdebat tentang perbedaan antara yang porno dan yang masuk kategori seni. Bukankah persepsi porno itu ada di kantong kita masing-masing (Brown, et all, 1978)? Dan itu urusan karakter orang per orang. Kalau material seks dianggap virus, apa pun dalihnya, yang perlu kita lakukan bagaimana kita bisa menangkal agar (bangsa) tidak sampai sakit (baca: rusak). Untuk itu, iman harus ditanam dan dipupuk, dan moral perlu dibangun.

Jika tujuannya lebih dari hanya membangun keberadaban bangsa, pendidikan harus mampu menjadi vaksin agar anak dan orang dewasa menjadi cukup kebal tidak sampai terserang virus seks. Kalau pendidikan moral bukan praksis budi pekerti, dan pendidikan agama bukan praksis ayat-ayat kitab suci, kita gagal membatalkan virus seks menyerang anak bangsa.

Sejak abad ke-19, Amerika Serikat jatuh bangun menangkal material seks. Salah satu lompatannya, pendidikan seks masuk kurikulum. Bahwa setelah itu tata nilai kesenonohan bergeser, dan anak yang sudah memahami nilai seksualitas masih berbuat tidak senonoh juga, itu sudah bukan urusan negara lagi. Yang dihadapi anak-anak kita jauh lebih berat dari yang dipikul teman-temannya di negara maju. Godaan virus seks global anak kita sama dahsyatnya dengan anak negara maju, tapi kekebalan batin dan rohani anak kita belum cukup diperkukuh. Selain mereka belum penuh memahami seksualitas, harus diakui, pendidikan agama sekolah kita cenderung hanya mengajarkan, sementara pendidikan budi pekerti sudah hilang dari kurikulum--entah ke mana pergi pendidikan moral.

Majalah berkategori "seronok" bagian dari virus material seks. Sebagaimana tabiat bisnis seks, sekarang ditumpas, kapan-kapan bisa muncul lagi. Bagaimana pula menyaring program MTV, website cabul Internet, dan peredaran film biru dalam aneka format? Rasanya kian memojokkan apa-apa yang kita upayakan sebagai sebuah kesia-siaan belaka. Jangan salahkan mawar bila kita tertusuk durinya. Kita tak mungkin membangun sangkar yang cukup besar untuk mengurung semua material porno dan segala yang kita anggap porno. Energi tersisa yang kita miliki masih perlu kita alokasikan buat urusan rakyat lapar, kehilangan pekerjaan, dan kesempatan bersekolah, selain membangun karakter, iman, dan moral bangsa.


TEMPO | Rubrik Opini | Edisi 17-02-2006 | Oleh dr. Handrawan Nadesul

Posting Komentar

8 Komentar

  1. Bang Nonki,
    Lagi-lagi terima kasih sdh mengangkat kembali tulisan saya yang saya sendiri lupa kapan menulisnya, dan tak punya arsip maupun klipingnya pula...

    Terima kasih pula utk spirit Anda memilihkan tulisan semacam begini ini bagi kita.
    Salam,
    Hans

    BalasHapus
  2. Dengan segala senang hati dok! Lagi-lagi terima kasih atas ijinnya.
    Salam.

    BalasHapus
  3. Membandingkan pusat percabulan di Amsterdam dan Saritem dengan lingkungan ataupun kondisi yang ditulis sahib saya dr Han, terlihat fenomena alam yang karena kelazimannya sering luput dari perhatian kita. Fenomena itu oleh seorang sejawat dari Jerman yang saya lupa akan namanya disebut sebagai Adam's syndrome.

    Ia membandingkan anak muda di Bangla desh dengan Inggris. Di Bengla Des tidak ada larangan merokok dan sedikit pula populasi muda yang melakukannya. Di Inggeris dimana larangannya di mana-mana banyka sekali anak muda yang merokok. Adam as memulainya dengan memakan buah yang dilarang. Andai tidak dilarang-Nya ada kemungkinan kita tidak bergaul ria di FB. He he he

    BalasHapus
  4. "Daun terap atas dulang,
    Anak ketam jangan dituba;
    Dalam Kitab ada dilarang,
    Perbuatan haram jangan dicoba."

    Seks adl "basic instinct" (naluri dasar=nafs lawammah) manusia! Hendak membentengi naluri dasar? Tak mungkin... seberapa tinggi juga benteng yg hendak dibuat pasti akan jebol juga (ingat tanggul lapindo). Yang diperlukan bukan BENTENG, tapi SARINGAN.

    Bagaimana kita bisa memberikan saringan yang halus agar setiap insan dengan prinsip ihsan-nya dapat menyaring segala jenis serbuan material porno dari segala penjuru media komunikasi yang ada. Bagaimana kita bisa meyakinkan bahwa IHSAN itu merupakan kunci utama menuju surga jannatul mahwa yang dijanjikan oleh Allah.

    Bila kita sadar sepenuhnya bahwa segala tindak tanduk kita diawasi dan di record dgn sempurna oleh Allah maka semakin baik pula saringan tadi menapis mana yang baik/benar dan mana yang buruk/salah.

    "Halia ini tanam-tanaman,
    Dibarat saja akan tumbuhnya;
    Dunia ini pinjam-pinjaman,
    Akhirat juga akan sesungguhnya.

    BalasHapus
  5. Memang benar saat ini bukan lagi mengajarkan anak dengan berbagai larangan ini atau larangan itu. Di jaman serba canggih ini, justru kita mengajak mereka untuk tahu apa itu virus sex dan bagaimana membuat anti bodi nya bagi anak-anak tercinta. Mereka sebagi penerus bangsa, kita dari rumah (sejak ada dirahim) sdh kita suntikan anti bodi itu dengan berbuat kebaikan dan berdoa, setelah ia lahir di dunia kita tambah dengan budi pekerti orangtuanya dan tetap berdoa. Komunikasi sebagai vitaminnya,itu terus menerus dan lancar.

    Banyak anak-anak tdk punya tempat curhat dlm keluarga,akhirnya lingkunganlah tempat dia bertanya. Salahkah dia? Bila dia terkena virus itu? Jadi imun (antibodi)nya adalah memupuk keimanan dan budipekerti mereka. Tentu dengan melihat orangtuanya sebagai panutan.

    Ajak mereka sebagai teman bertukar pikiran,sebagai sahabat tempat curhatnya dan sebagai tauladan bagi kehidupan mereka.

    BalasHapus
  6. Virus? Seingat ajaran guru di sekolah, virus tidak bisa dimusnahkan(?) hanya bisa dilemahkan. Virus hidup (berkembang biak) di mahluk hidup namun tidak di udara bebas. So, gimana caranya virus tidak berkembang? Tidak mungkin kan mahluk hidupnya yang dibasmi. Biarkan saja virus hidup di alam bebas. Kembalikan saja ke asal mula bahwa virus tetap ... virus!

    Atau, agak nyeleneh dikit nih... Virus influenza tidak berkembang dengan baek jika manusia rajin olah raga. Mungkin gitu juga virus pornografi ya?

    Macem-macem aja lu Ndra... Jadi gimana? Kembalikan kepada siapa yang buat semua ini? Hakikatnya kan nothing...zip...nada...dang adong (jangan pake parameter manusia) Dari tidak ada menjadi ada kembali tidak ada...

    BalasHapus
  7. Wah! Indra ~ mbulet! ~ wekekek ....

    BalasHapus
  8. Bottom line bang...ga ada ~ ada ~ ga ada...

    BalasHapus