Baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum, melalui anggotanya, Anas Urbaningrum, mengutarakan rencana penyusunan syarat sehat jasmani-rohani calon presiden dan calon wakil presiden (Koran Tempo, 3/3). Sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, satu pasangan capres-cawapres tidak sehat berarti gugur. Ini gagasan yang baik karena sosok sehat presiden maupun wakilnya buat rakyat tak cukup sekadar proforma atau perkara yang boleh dianggap main-main lagi.
Bukan cuma di kita, di Amerika Serikat pun pihak medis sendiri belum punya standar spesifik apa syarat sehat buat kandidat presiden. Apakah dianggap cukup sama dengan uji sehat untuk jabatan manajer belaka?
Membaca riwayat penyakit sejumlah Presiden dan Wakil Presiden AS selama abad XX saja, tercatat sedikitnya tiga Presiden AS menyembunyikan masalah medisnya kepada publik yang kemudian ternyata mempengaruhi tugasnya sebagai eksekutif tertinggi. Woodrow Wilson terserang stroke setelah dua tahun menjadi presiden.
Franklin Deleano Roosevelt punya riwayat polio, beberapa kali masuk rumah sakit tanpa kabinet dan wakilnya tahu, kemudian kedapatan tewas di kantornya. John F. Kennedy punya penyakit Addison yang berpotensi membuatnya gampang shock. Ia dan dokter pribadinya menyangkalnya saat berkampanye.
Franklin Deleano Roosevelt punya riwayat polio, beberapa kali masuk rumah sakit tanpa kabinet dan wakilnya tahu, kemudian kedapatan tewas di kantornya. John F. Kennedy punya penyakit Addison yang berpotensi membuatnya gampang shock. Ia dan dokter pribadinya menyangkalnya saat berkampanye.
Tercatat pula sedikitnya tujuh Wapres AS sampai 1912 kedapatan tewas di kamar kerja mereka, bisa jadi lantaran waktu itu persyaratan sehat belum dipandang perlu. Namun, isu tidak sehatnya capres di AS masih terus menjadi pergunjingan publik. Wapres Humprey, misalnya, pernah punya riwayat kencing darah semasa mudanya, salah satu gejala kanker kandung kemih. Beberapa tahun menjadi wapres (1978) ia tewas akibat kankernya itu.
Pergunjingan publik juga mempersoalkan riwayat serangan jantung Capres Al Gore waktu itu. Bukan saja kalangan medis, rakyat AS pun menyangsikan sosok sehat Al Gore melihat fisiknya yang botak di puncak kepala (male patterns balding). Pria botak di tengah dengan kolesterol tinggi tergolong berisiko terserang jantung koroner, kata studi Harvard. Isu ini menyudutkan Al Gore saat berkampanye sebagai capres waktu itu.
Calon Wapres AS Richard Dick Cheney awalnya juga merahasiakan penyakitnya. Namun, kemudian pers membongkarnya. Pada Juli 2000 tes jantungnya dinyatakan sehat. Namun, empat bulan kemudian ia tak bisa menyembunyikan serangan jantungnya, dan ternyata itu serangan keempat kalinya--tak ada yang tahu sebelumnya.
Masalah seperti itu muncul karena tak ada kewajiban hukum capres maupun cawapres di AS membuka rahasia penyakitnya. Namun, bila sebab penyakitnya sehingga kemudian menjadikannya tak mampu melaksanakan tugasnya sebagai presiden atau wakil presiden, tak ada konstitusi yang mencegah Kongres untuk meng-impeach-nya.
Makna sehat jasmani-rohani kini dianggap tidak cukup lagi cuma sehat fisik dan jiwa tanpa mencakup sehat secara sosial, emosional, dan spiritual. Buat medis, kini tak lagi sulit memeriksa detail kesehatan fisik. Dengan peralatan medis canggih kini semakin mudah memeriksa fungsi dan kondisi organ tubuh yang dulu tak mungkin dilakukan.
Bahkan meramal apakah dalam beberapa bulan ke depan seorang capres bakal terserang stroke atau jantung koroner, sudah bisa diprediksi lewat beberapa jenis kimiawi darah. Kondisi pembuluh darah otak dan jantung yang kaku, menebal, atau mulai tersumbat bisa lebih akurat dilihat--meramal kemungkinan stroke atau jantung koroner bakal menyerang. Stroke dan jantung koroner berpotensi mengganggu kinerja presiden.
Di AS, sudah dibentuk Komite Ahli-ahli Medis (Committee Medical Experts). Badan ini berhak memberi rekomendasi medis laik tidaknya seorang capres dan cawapres melaksanakan tugasnya.
Berbeda dengan pemeriksaan fisik, memeriksa jiwa yang selama ini kita abaikan tidaklah lebih mudah. Fisik sehat tapi diragukan integritasnya perlu dijadikan pertimbangan medis tidak direkomendasikannya seorang capres atau cawapres. Pasca-stroke, silent stroke, proses menua pada otak (infarc cerebri) adalah faktor yang berpotensi mengganggu kepribadian. Utuhnya kepribadian diperlukan untuk semua tugas kepresidenan, agar setiap keputusan penting negara tidak ngawur.
Capres maupun cawapres juga perlu memiliki emosi yang cerdas, sehingga tak mudah diombang-ambingkan oleh paraunya gemuruh suara rakyat, selain perlu memiliki kebugaran sosial agar prigel menyapa dan bergaul dengan rakyat, punya kepekaan tinggi merasakan kebutuhan orang banyak bukan pada saat berkampanye saja.
Capres dan cawapres juga perlu meraih spiritualitas yang berkelas, dan moral yang terpelajar. Keputusan presiden dan wakilnya tidak cukup cuma dari buah olahan otak yang cerdas, berintegritas tinggi, emosi dan sosial yang matang belaka, menjadi bukan keputusan yang arif bila tidak dilengkapi kecerdasan spiritual juga.
Untuk menilai integritas dan semua kecerdasan yang layak dimiliki pasangan capres dan cawapres itulah diperlukan pemeriksaan psikologik dan psikiatrik lengkap. Banyak ragam perangkat tes kejiwaan yang bisa dikerjakan untuk menetapkan kelaikan mental, moral, emosional, dan spiritual. Sifat tidak jujur, temperamental, bisa sepenuhnya dikorek. Untuk itu, perlu pemeriksaan lengkap lebih dari pemeriksaan calon manajer semata.
Yang jadi masalah, seberapa besar toleransi medis boleh diberikan untuk setiap penyimpangan medis yang ditemukan pada seorang capres dan cawapres. Misalnya, apakah mereka yang pernah punya riwayat stroke ringan TIA (transient ischaemic attack) tanpa menyisakan cacat, masih boleh direkomendasi sehat sebagai capres atau cawapres? Yang pernah operasi jantung, atau cangkok ginjal, masih dinilai laikkah sebagai capres atau cawapres?
Atau mungkin perlu lebih tidak toleran dengan menolak capres dan cawapres yang dari fisik luarnya saja sudah kelihatan berbakat jantung koroner dan stroke, seperti jika kegemukan (obesity), botak di puncak kepala, memiliki tanda cincin pada hitam mata (arcus arcuata), kutil lemak di kulit kelopak mata (xanthelasma), atau mereka yang di dalam tubuhnya menyimpan risiko stroke atau jantung koroner yang berpotensi mengganggu tugas eksekutif itu (turunan diabetes, darah tinggi, perokok, lemak dalam darah tinggi, kegemukan).
Saatnya sekarang pihak medis (semua dokter niscaya independen) mulai menyusun batasan-batasan medik untuk menetapkan standar sehat tidaknya capres dan wakilnya. Apa sajakah dalam sosok suatu penyakit, kelainan, atau gangguan jasmani dan rohani yang secara medis-psikologis dinilai menjadikan orang tidak cakap (lagi)? Atau dalam dirinya menyimpan bakat, kerentanan, risiko bakal terserang penyakit-penyakit, kelemahan, atau gangguan yang diperkirakan berpotensi mengancam kemampuannya dalam melaksanakan tugas sebagai presiden dan wakilnya.
Untuk perumusan medis-psikologis itulah perlu dibentuk semacam komite yang terdiri atas ahli-ahli medis, selain psikolog. Komite ini juga nantinya yang diberi wewenang menilai apakah akibat penyakit yang muncul dalam perjalanan tugasnya, seorang presiden atau wakilnya masih dinilai cakap. Sebuah keputusan medis independen-nonpartisan, yang tentu harus senantiasa steril dari desakan politik, uang, atau kekerabatan.
TEMPO | Rubrik Opini | Edisi 06-03 2004 | Oleh dr. Handrawan Nadesul
8 Komentar
Teks ini ditulis oleh Pak Hans 5 tahun lalu. Apakah hari ini masih cukup relevans?
BalasHapusvalid!
BalasHapusdok, capres yang membiarkan calegnya - jika "mewajibkan" terdengar terlalu otoriter - minum air bekas cuci kaki, tingkat kesehatan jasmani dan rohaninya kira-kira gimana ya?
BalasHapusKasian rakyat Indonesia bayar uang pajak buat pejabat untuk buang-buang waktu bikin hal-hal konyol begitu.. Urusin dong rakyat yang susah..
BalasHapusyah surat itu kan tidak begitu susah mendapatkannya kecuali kalau dokternya juga caleg. he he he
BalasHapusSyaratnya masih relevan utk saat ini. Tapi yang terpenting adalah kesehatan moralnya sudah teruji. Dan memang tdk memiliki surat dari instansi manapun. Kecuali sang Khalik. Sehingga pemberantasan korupsi dpt dijalankan dgn baik dan sukses. Soal kesehatan jasmani dan jiwa itu tdk menjadi jaminan yg pasti utk menjadi seorang pemimpin.
BalasHapus100% setuju dgn kak zunaerah, pasal sehat fisik- jasmani bisa terukur walaupun didunia medik tidak ada yang 100% pasti; namun kesehatan moral - spiritual sebagai seorang pemimpin bangsa ini merupakan persoalan sangat besar untuk bangsa indonesia apakah saya bermimpi bila mengharapkan seorang "ahmadinejad" lahir dibumi indonesia dan memimpin bangsa ini dengan kebersahajaannya ?
BalasHapusHalo Bang Nonki, dan teman-teman.
BalasHapusTerima kasih lagi utk kliping yang saya sendiri tidak miliki lagi. Mudah-mudahan bisa merangsang inspirasi teman-teman utk berpikir ulang menjelang pemilu mendatang.
Salam sehat buat kebanyakan rakyat kita yang baru bisa berpikir kalau buat sehat itu tak cukup minum air cucian mandi Ponari.
Hans