"Honesty is the first chapter of the book of wisdom."
(Thomas Jefferson, The 3rd President of The USA)
ADA teman yang menyangsikan kemampuan seorang calon presiden karena tak jelas jawaban si capres ketika seorang pakar ekonomi bertanya ihwal ekonomi kepadanya. Saya bilang, kita belum lupa sampai saat pelantikannya rakyat Amerika pun tidak sangsi pada pilihannya terhadap Ronald Reagan yang lebih bintang film ketimbang ekonom. Kita melihat, di bawah administrasi Reagan ekonomi AS nyatanya tidak jelek.
Presiden yang ekonom pun belum tentu memberi jaminan ekonomi bakal tumbuh kalau lembek memimpin. Tanpa kompetensi memimpin, niscaya lunglailah pohon negara. Itu sebab orang bilang, paling kurang presiden punya kemampuan leadership dan cukup sekadar berwawasan generalis, yang tahu banyak hal walau serba sedikit.
Sebuah administrasi pemerintahan konon dianggap elok kalau presidennya eligible, asal IQ tidak jongkok, para pembantunya orang-orang ahli, ekspertis, dan piawai menguasai bidangnya. Satu kunci lagi yang menurut Lin Yutang tak boleh tak ada, presiden eloknya juga seorang reasonable people, akal sehatnya bekerja setiap kali mengambil keputusan.
Buat kondisi Indonesia sekarang, itu saja agaknya belum cukup. Ketika kini kita semakin susah mencari orang jujur, dan bangsa kita sudah lama mengidap tumor jiwa (serakah, KKN, agresif, antagonistis), ke depan syarat calon pemimpin bangsa wajib jujur juga. Orang bilang, mending dipimpin presiden yang tidak terlalu pintar tapi jujur ketimbang diatur presiden pintar tapi culas mempermainkan rakyat.
Kejujuran itu sendiri gampang diombang-ambingkan oleh keserakahan hidup, rasa takut, dengki, dan iri hati. Jika moral lumpuh dan iman tak kunjung naik kelas, kejujuran terancam goyang. Itu makanya seorang capres hendaknya juga sosok pemimpin moral.
Sebagai pemimpin moral, capres mengarahkan visinya ke terminal moral dan gerak misinya pun bermuatan tanggung jawab. Kita sadar kejujuran bertetangga dekat dengan etika, integritas, dan rasa bertanggung jawab. Sebagaimana sikap mendahulukan kepentingan publik, kejujuran merupakan bagian dari rasa moral juga. Galibnya pemimpin moral, ia pun sosok yang tahu diri dengan kekuasaan di tangannya.
Orang bilang, buat kondisi Indonesia sekarang, presiden yang jujur saja belum cukup bila tidak didukung oleh kabinet berpatron the man behind the gun. Bakal tambah suram nasib bangsa andai para pembantu presiden selain dungu mengidap tumor jiwa pula.
Sejarah politik kita banyak mengajarkan kalau presiden ke depan nanti tidak boleh ewuh pakewuh lagi cuma lantaran digayuti perasaan punya utang, perlu balas budi, bertepa selira dalam ajang berkongsi politiknya. Misal, andai kabinet yang dibangun nanti belum fokus juga mulai berpreferensi pada orang-orang ahli di bidangnya, bukan berpatron merit- ocracy, tidak pula technocracy, rasa-rasanya bakal bikin rakyat tersedu lagi.
Barangkali sekarang saatnya kita membutuhkan model kabinet the singer not the song itu. Kabinet yang bukan saja tahu harus melakukan apa, tapi piawai juga bagaimana melakukannya. Ini penting buat tampilan bangsa yang masih compang-camping supaya janji serta mimpi presidennya menjadi tidak mustahil buat digenapi.
Demokrasi yang jujur bisakah melahirkan birokrat yang jujur? Jika cuma presiden yang jujur dan tak demikian dengan para pembantunya, kapan nasib bangsa bisa berubah. Maka presiden terpilih nanti perlu perigel merekrut pembantunya yang selain pintar, harus bebas tumor jiwa pula.
SAATNYA administrasi pemerintahan yang baru nanti memanfaatkan ilmu Neuro Linguistic Programming (NLP) atau bahasa pemrograman saraf. Menyadari kerja pamong dan birokrat kita yang konon kata orang-orang masih minimalis, barangkali perlu dipersyaratkan menjadi bagian dari modul Lemhanas.
Sebagaimana kita pahami, NLP sebagai ilmu dan seni yang memelajari kemampuan terbaik manusia dalam mengeluarkan dan meningkatkan potensi yang dimilikinya, termasuk elemen kejujurannya. Seperti kata Sandy McGregor, NLP diterapkan untuk menemukan pemicu dalam diri manusia dalam meraih impian dan keberhasilan serta keheningan jiwa (dalam buku Peace of Mind).
Dengan NLP kita bisa mengoperasikan otak untuk kehidupan yang lebih optimal, membawa diri kita ke puncak kondisi pikiran tertinggi. Buat rata-rata semangat tradisi bangsa kita yang konon sering kurang begitu bersungguh-sungguh dalam melakukan hal apa saja (buku The Lazy Native) tanpa memanfaatkan ilmu NLP kita akan menyesal sebab tidak optimal berpikir dan hanya mengerjakan apa pun secara asal-asalan saja. Teknik NLP mampu membangkitkan kemampuan manusia yang sebetulnya luar biasa, termasuk potensi buat hidup jujur.
Dengan NLP kita bisa memprogram otak agar mencapai harapan. Untuk itu sistem saraf pusat (otak) memegang peran vital. Tubuh dapat melatih diri, misal disetel untuk menjadi gemuk, frustrasi, depresi, atau kita sendiri berusaha mengalihkannya menjadi berpengharapan, komit, berdedikasi, mencintai, serta semua pilihan hidup yang luhur, termasuk menjadi individu yang jujur sampai mati.
Melintasi jembatan pemilu presiden sekarang ini barangkali betul ini jalan keluar yang tak boleh terlewatkan bagi bangsa. Solusi untuk bersungguh-sungguh membangun pemerintahan yang tidak rapuh lantaran sosok kepiawaiannya, elok berwibawa lantaran kejujurannya. Tak berlebihan kalau kejujuran dijadikan kredo bangsa yang diperkirakan akan mampu membawa rakyat mulai bisa tersenyum dan tidak tersedu lagi.
KOMPAS | 09-08-2004 | Opini | Oleh dr. Handrawan Nadesul
18 Komentar
Masih dari file lama Pak Hans; Agustus 2004! Hehehe ....
BalasHapusBerarti kejujuran tetap langka atau justru makin langka...Dan bila rakyat jujur pada hati nuraninya, jangan2 untuk pilpres nanti golput makin menggelembung..
BalasHapusMenilik tingkah polah para elite politik kita di TiVi, "kejujuran" sebagai salah satu prasyarat utama di antara syarat lain sebagai pemimpin negara, nampaknya masih jauh dari harapan. Entah dalam perjalanannya nanti menuju Pilpres. Di tengah kegamangan menentukan pilihan, tayangan media elektronik justru menampilkan kesibukan para elit menjajagi koalisi, seakan berbagi kekuasaan masih sebagai prioritas utama. Jika koalisi capres dan cawapres menempatkan kepentingan bangsa setelah kepentingan parpol, boleh jadi, lima tahun ke depan rakyat masih harus tersedu lagi.
BalasHapusPolitik di Indonesia.. mewajibkan rakyatnya harus tersendu dan miskin, dengan akal bulus seperti itu, kelanggengan kekuasaan akan diraih, dan hal ini akan menempatkan penguasa menjadi idola, karena rakyat hanya mampu untuk mengagumi? bang.. tulisan ini baru beberap hari lalu ya.. kok dibawahnya tetap agustus 2004?
BalasHapusBang,
BalasHapusketemu lagi barang lama, kayaknya masih enak dibaca lagi. Terima kasih sudah kasih nongol lagi.....
Tak ada musuh abadi; yang ada kepentingan abadi...
BalasHapusbukan begitu, kata orang, politik itu...?
@ dr. Sri, untuk pilpres nanti, naga-naganya reaksi "massa mengambang" gampang diprediksi ya? Saya setuju.
BalasHapus@ cak dokter, proses pilegnya saja sudah cukup mengejutkan, apalagi hasilnya. Makanya para petinggi beberapa partai besar sekarang ini rata-rata pada girap'en (atau girap-girap?) kaget kemapanannya selama ini tiba-tiba saja ambrol! Reaksinya, ya seperti yang diperlihatkan di tivi itu, panik! Secara keseluruhan tontonan di tivi tadi sebetulnya merupakan sebuah pagelaran yang mendorong rakyat bertambah tersedu-sedu ...
@ Eyeck, bisa jadi demikian. Kendati selama ini pendidikan politik bagi rakyat sangat langka, tapi masa sih, rakyat tidak belajar sendiri dari pengalaman pahit selama 1 dasawarsa belakangan ini?
BalasHapusSoal tanggalan di atas, AJAIB ya? Opini itu memang ditulis oleh Pak Hans 5 tahun lalu. Tapi nyatanya masih relevans dengan keadaan hari ini bukan?
@ Pak Hans, terima kasih.
@ Indra, remember, nobody gets out alive anyway!
BalasHapushehehe ......
Ya, ya kalau sekarang tulisan sejenis itu masih relevans bolehkah itu disimpulkan kalau kondisi kita sebetulnya masih belum berubah....
BalasHapusbang, komen atas bang eyeck; rasanya rakyat tau tapi ga bisa ngapa-ngapain. Lha, pembuat kebijakan berkata atas nama rakyat tapi realita yang ada? Jadi, kebanyakan rakyat milih yang udah tau aja (incumbent cnah mah...)hehehehe
BalasHapus@all; makanya mereka pake "TERUSKAN ..."
@ Pak Hans, menurut dr. Sri Ariantini, kenyataan ini mencerminkan stagnan di dalam kehidupan bernegara kita. Jadi, tanpa bermaksud untuk mengadili orang-per-orang, sepertinya banyak otak yang lecet, lidah yang keseleo, dan pagar integritas yang roboh di atas sana. Bayangkan, proses berfikir yang stagnan. Kalau mau lebih serius ditelaah dengan menggunakan parameter dokter misalnya, boleh jadi hasilnya kita memiliki banyak politikus yang mengidap gejala Dyslexia. Apa iya, Pak Hans?
BalasHapus@ Ndra, semalam, di acara salahsatu stasiun tipi ada kongkow para jubir & petinggi partai plus seorang eksekutif CSIS. Sementara yang lain teteub mengedepankan slogan demi bangsa, rakyat, dan negara, salahsatu petinggi partai besar yang sudah mulai sepuh terlihat jelas sekali "enggan" bicara atas nama-nama tadi. Nampaknya beliau sudah "bosan" terus .menerus berbohong demi partai, dan mungkin juga sudah mulai mempertimbangkan resiko apa yang akan dihadapi kelak di langit sebagai akibat dari melakukan kebohongan publik. Sedetik, daku sempat berdoa; Tuhan, semoga sikap ini segera menular ke sebanyak-banyaknya elit politik kita yang sedang sibuk berebut kursi saat ini......
wah...sayang ya aku ga liat...persiapan mendukung Arsenal sih bang...hehehe...
BalasHapusBener bang, kapan sih hipokritisme (ceile...) ilang dari negeri ini ya?
Hidup Arsenal!
BalasHapusHipokritisme? Ya, marilah kita sama-sama belajar tentang Honestocracy! hehehe ...
He he,
BalasHapusBang Nonki, bisa jadi dyslexia juga ya.....
Pokoknya penyakitnya komplit....
Pak Hans, tetangga dekat saya malah bilang ini boleh masuk dalam katagori neurological dysfunction, bahkan brain developmental disorder. Wah .... istilahnya ribet. Tapi terdengar "gagah" juga ya? hehehe ...
BalasHapusKalo pakai istilah amriknya sih keren bang. Mgkn klo dikonfirmasi ke Ybs, beliau berkata : Ya mungkin krn kesibukan saya...kdg2 stamina saya sedikit terganggu. Tapi klo di-Indonesiakan, dijamin ga ada yang mau ngaku...Hehe..
BalasHapushahahahaha....... setuju, bu dokter!
BalasHapus