Fenomena warung kopi telah lama mewarnai pola kehidupan masyarakat kita. Hampir semua sudut kampung dapat dipastikan ada warung kopi. Dan di mana-mana warung kopi biasanya dibuka sejak fajar hingga tengah malam.
Umumnya warung kopi menyediakan minuman kopi manis dan panas untuk pengunjung, dilengkapi kue-kue gorengan atau nasi rawon serta rokok. Umumnya lagi, hanya kalangan pria yang menjadi pelanggan. Dan biasanya, pengunjung akan berlama-lama berada di warung kopi untuk menikmati secangkir kopi, kue-kue, serta mengisap rokok sambil jejagongan atau ngobrol ngalor-ngidul.
Sudah menjadi pemandangan umum juga, betapa semua warung kopi dilengkapi dengan bangku atau angkruk yang ditempatkan di depannya untuk tempat jejagongan. Pelanggan warung kopi biasanya menghabiskan waktu sore dan malamnya dengan jejagongan. Dan bagi pelanggan tertentu (pria pengangguran) aktivitas jejagongan di depan warung kopi bahkan bisa dilakukan pada pagi, siang, sore, dan malam hari.
Fenomena warung kopi identik dengan rakyat miskin, tentu semua orang setuju. Dalam hal ini, warga miskin biasanya memang tidak memiliki persediaan kopi di rumah. Jangankan kopi, beras saja tidak tersedia di rumah, alias setiap hari harus dicari untuk kemudian dimasak. Sementara, warga kelas menengah atas di kampung mana pun biasanya tidak menjadi pelanggan warung kopi karena di rumah sudah punya persediaan kopi. Padahal, jika dihitung, harga secangkir kopi di warung relatif mahal dibanding dengan membuatnya sendiri di rumah. Bahkan, di sejumlah warung di kampung-kampung, kopi yang disajikan bukan kopi murni tetapi kopi campuran jagung atau beras.
Dalam hal ini, beras atau jagungnya lebih banyak dibanding kopinya. Dan cita rasanya tentu juga kalah dibanding kopi murni. Meski demikian, pelanggan yang terdiri dari rakyat miskin tetap gemar menikmati kopi di warung. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari rendahnya kemampuan matematika (berhitung). Bahkan, rakyat miskin identik dengan rendahnya kemampuan melakukan perhitungan yang berkaitan dengan pengeluaran dan penghasilan keluarga. Dan berkaitan dengan fenomena warung kopi, rakyat miskin ternyata juga identik dengan dominasi budaya patriarki, dengan kaum laki-laki (suami) cenderung ingin selalu menang karena mentang-mentang menjadi kepala keluarga.
Untuk masalah ini, biarlah istri dan anak-anak makan seadanya di rumah, yang penting "Bapak" bisa setiap hari minum kopi di warung. Inilah yang bisa memicu malnutrisi massal yang kini layak dicermati semua pihak sebagaimana yang telah terungkap di Kebumen beberapa waktu yang lalu di media.
Fenomena warung kopi memang bisa dikaitkan dengan malnutrisi keluarga, terutama yang menimpa anak-anak balita di banyak desa. Jika hal ini dikaitkan dengan kemiskinan, sepertinya telah menjadi sebuah lingkaran setan. Dipandang dari sudut mana pun, soal ini akan terkesan runyam. Bagi pengamat ekonomi, keberadaan warung kopi tentu bisa dikaitkan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Misalnya, warung kopi bisa menjadi pasar mungil tempat berputarnya uang di level akar rumput yang akan sedikit mengangkat perekonomian rakyat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan rakyat adalah pemilik warung kopi, bukan kalangan pelanggannya. Dengan kata lain, warung kopi akan dapat meningkatkan kesejahteraan pemiliknya, tetapi sebaliknya akan membuat kalangan pelanggannya selalu terpuruk dalam kemiskinan.
Bagi pengamat sosial, warung kopi mungkin dapat dikategorikan sebagai biang keterpurukan rakyat miskin di desa-desa. Sebab, setiap pelanggan warung kopi dapat dipastikan akan mengeluarkan uang lebih banyak dibanding yang bukan pelanggan warung kopi, padahal tingkat penghasilan relatif pas-pasan. Konkretnya, jika kepala keluarga miskin (berpenghasilan rendah) menjadi pelanggan warung kopi, maka sangat mungkin akan mengabaikan kebutuhan gizi anak istrinya.
Revitalisasi
Meski fenomena warung kopi dapat dikaitkan dengan malnutrisi, sejauh ini belum pernah ada pihak-pihak yang memedulikannya. Padahal, warung kopi juga dapat dikatakan sebagai ruang publik di level akar rumput yang sangat efektif untuk tempat posko-posko kesehatan di desa, seperti posyandu misalnya. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait seperti PKK (pembinaan kesejahteraan keluarga) dan penyuluh kesehatan masyarakat perlu mencoba mencari hikmah di balik fenomena warung kopi, dengan merevitalisasikannya untuk menjadi pusat pembangunan gizi masyarakat di pelosok desa-desa.
Mungkin saja warung kopi dapat dijadikan posko posyandu atau tempat berkumpulnya ibu-ibu dan balitanya untuk ditimbang dan dibantu suplai gizinya agar lebih sehat. Kalangan bapak-bapak yang sedang nongkrong jejagongan di warung kopi akan memahami tingkat kesehatan dan gizi keluarganya sehingga tidak lagi selalu mengabaikannya. Dengan melihat langsung kondisi istri dan anak-anak yang ternyata berbobot rendah karena kurang gizi, diharapkan kalangan bapak-bapak akan segera memedulikan gizi keluarga.
Selama ini, persoalan kesehatan dan gizi anak-anak memang hanya menjadi urusan kaum ibu saja. Sebagaimana dapat dilihat di mana- mana, posyandu-posyandu hanya dipenuhi oleh ibu-ibu yang membawa balitanya, tak pernah ada bapak yang terlibat atau sekadar melihat dari dekat. Hal ini karena posyandu-posyandu ditempatkan di rumah- rumah ketua RT atau ketua RW, bukan di warung-warung kopi. Jika warung kopi dijadikan posyandu atau posko penyuluhan kesehatan masyarakat (minimal sekali sebulan) tentu pemiliknya dapat disarankan untuk juga menjual minuman dan makanan bergizi, seperti susu segar dan bubur kacang ijo untuk balita, dan bukan melulu kopi saja. Sedangkan hidangan kue-kue bisa juga diperkaya dengan kue-kue yang cocok untuk dikonsumsi balita.
Dengan menjadi tempat posyandu dan pusat penyuluhan kesehatan masyarakat desa serta menyediakan sajian yang lebih kaya, warung kopi mungkin akan merangsang kepedulian kalangan pria (suami dan ayah) untuk peduli gizi sehingga ancaman malnutrisi keluarga dapat dicegah.
MARTA MAHARDIKA Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat, tinggal di Kudus, Jawa Tengah - KOMPAS Medio November 2006.
0 Komentar