RUMAH (yang) SAKIT
Resep dokter ditulis tak rasional, lebih banyak pasien berobat kalau punya uang saja, komersialisasi layanan medik, layanan medik dirasakan tak manusiawi.
Radhar Panca Dahana mengeluh buruknya layanan medik kita (Kompas, 14 Maret 2009). Tulisan itu mewakili nasib banyak pasien. Yang diungkapnya fakta keresahan tak sedikit pasien kita. Betul harus diakui banyak pasien kita terpojok sebagai pihak yang dirugikan.
Itulah potret layanan medik yang dibaca dengan kacamata bukan orang medik. Saya ingin mengulasnya dari kacamata pekerja medik.
Membangun di hulu
Untuk menguak mengapa layanan medik kita meresahkan masyarakat, tugas dan kewajiban pekerja medik kita perlu dikenali masyarakat.
Lebih banyak rakyat Indonesia baru berobat kalau punya uang. Dua pertiga dari mereka tidak sekolah tinggi dan lemah kemampuan hidup sehatnya. Karena itu, arah pembangunan kesehatan kita jelas garisnya pencegahan.
Dengan konsep pencegahan (primary health care) kesehatan di hulu kita bangun. Pilihan itu dinilai lebih efisien. Lihat saja Banglades. Bukan sebab anggaran kesehatan dinaikkan maka Banglades lebih sehat dari kita, melainkan karena Banglades teguh melakukan layanan pencegahan.
Membangun di hulu ongkosnya jauh lebih murah. Karena jika hulu tidak dibangun, di hilir jumlah orang sakit terus meningkat. Karena angka penyakit meningkat, anggaran habis buat belanja obat. Belanja obat lebih mahal ketimbang ongkos bikin rakyat tidak sakit sejak di hulu.
Puskesmas menjadi tulang punggung pembangunan kesehatan di hulu. Namun, puskesmas bukan rumah sakit sehingga hanya mampu melayani satu dari lebih 12 program. Di sana, masyarakat kita yang masih belum melek sehat dilatih menjadi pintar agar tidak sakit. Namun tidak semua puskesmas mampu melakukan pembangunan di hulu. Akibatnya, rumah sakit masih seperti pasar malam. Yang dilayani melebihi kapasitas yang melayani. Maka, layanan medik cenderung tak profesional.
Konsekuensi sistem
Dari dulu sukar mengatur distribusi tenaga dokter. Semua dokter muda kepingin praktik di kota besar supaya lekas maju. Kalaupun mau di puskesmas, apalagi di daerah terpencil, mereka minta imbalan gaji atau janji spesialisasi. Hal itu normal, bukan saja sekolah dokter memakan waktu lama dan ongkosnya tidak kecil, tetapi juga pencitraan: bukan dokter kalau tak punya rumah dan mobil pribadi.
Citra kumuh dokter mengurangi kepercayaan pasien. Profesi dokter butuh faktor trust. Di mata pasien, lulus cum laude saja tak cukup, kalau dokter pergi praktik naik ojek.
Berbeda dengan dokter di negara dengan sistem layanan medik, citra profesi cukup dibangun dengan berpraktik di satu rumah sakit. Perhatian dan konsentrasi kerja dokter tak perlu pecah terbagi mencari tambahan di tempat lain.
Lebih berat
Bobot kerja profesi dokter kita jauh lebih berat daripada dokter negara maju. Pasien puskesmas bisa ratusan. Bagaimana bisa teliti memeriksa. Akibatnya, kesehatan gagal dibangun di hulu sehingga orang sakit terus meningkat.
Tugas dokter puskesmas bukan hanya memeriksa pasien. Dua pertiga jam kerjanya harus di lapangan untuk menyuluh, rapat dengan pamong, dan meninjau masyarakat.
Bobot kerja dokter rumah sakit juga melebihi ketika bekerja profesional. Tak heran kalau ada profesor kita yang salah membaca hasil rontgen. Tentu bukan karena kebodohan. Kasus malapraktik acap terjadi akibat bobot kerja dan kondisi profesi seperti dipikul rata-rata dokter kita.
Kekuasaan dokter
Harus diakui kekuasaan profesi dokter kelewat tinggi. Apa pun yang diminta dokter pasien hanya bisa patuh saja. Ketidaktahuan medik pasien membuat pasien tak berdaya di hadapan dokter. Moral dokter bisa tergoda mencari untung dari ketidaktahuan pasien.
Sekolah dokter mengajarkan agar menulis resep rasional. Kalau ada obat lebih murah dengan efek sama mengapa menulis yang lebih mahal. Kalau tak perlu dirawat atau wajib operasi, mengapa memilih memberatkan pasien. Sumpah dokter melarang memperlakukan pasien seperti nomor. Dokter wajib menjawab pertanyaan pasien, menjelaskan sebelumnya mengenai operasi yang akan dilakukan.
Industri medik juga meningkatkan overutilisasi alat pemeriksaan (karena memeriksa apa saja yang sebetulnya tidak diperlukan) menjadikan rakyat yang sungguh memerlukan akhirnya tak mendapatkannya sehingga mereka merasa diperlakukan diskriminatif. Di beberapa negara ada regulasi pembatasan jumlah pasien sehari. Kita tidak.
Sekarang terjawab mengapa kalau lebih sering muncul kasus malapraktik, kalau pasien lebih sering bertemu dokter yang tak ramah (misconduct). Sebagian muncul sebagai konsekuensi sistem kesehatan yang kita pilih, tingginya otonomi dokter, dan moral profesi yang goyah. Ditambah dengan struktur penggajian tenaga dokter dan kebijakan praktik dokter membuat masyarakat masih berpikir untuk berobat ke Ponari. Ketika rakyat masih memerlukan layanan kesehatan primer, industri medik malah terus menekan.
Sebagai dokter, tak patut bila karena potret buruk, cermin dibelah. Namun, karena profesi dokter masih dipagari oleh etika profesi, posisi saya serba salah. Otokritiknya, perlu solusi membangun ”praktik bersama” agar berlangsung proses tilik-sejawat (peer review) sehingga kekuasaan dokter tidak tanpa batas.
Untuk itu sistem kesehatan saatnya menggratiskan setiap warga negara. Kita mampu melakukannya. Pendidikan etika medik menjadi modul tersendiri bagi setiap calon dokter sehingga pembangunan kesehatan di hulu dapat berhasil.
Bila rakyat makin pintar sehat, makin kritis, dan skeptik, makin berkuranglah kekuasaan dokter. Dokter tak berani berpraktik seenaknya lagi. Kekuasaan dokter perlu dibagi untuk hak pasien. Hukum kedokteran saatnya ditegakkan. Walau tidak setiap kasus yang merugikan pasien adalah salah pihak medik, dan masih banyak dokter yang baik, tetapi jika perubahan di atas tak terjadi, malu aku jadi dokter Indonesia.
32 Komentar
Gara-gara seharian kemarin sibuk mikirin beda antara Rumah Sakit dan Rumah Sehat, jadi deh tulisan lawas Dr. Handrawan Nadesul muncul lagi di sini.
BalasHapusHe, he Bang Nonki, ketemu lagi tulisan yang nyasar entah ke mana. Thanks a lot sudah menemukan kembali.
BalasHapusSalam sehat,
Nadesul
Iya, dok. Kemarin hampir seharian saya beraktifitas di RSHS dan RS Advent Bandung, sempat juga merenung-renung. Lalu, ya, ini dia! Korek-korek file lama dokter lagi. Trims untuk ijinnya ya dok?
BalasHapusSalam Sehat!
Its an old story all over the wprld.
BalasHapusOsler: ”It is astonishing with how little reading a doctor can practice medicine, but it is not astonishing how badly he may do it.(“Sungguh mencengangkan bagaimana seorang dokter dapat berpraktek dengan sedikit bacaan, tapi tidaklah mengherankan betapa buruk prakteknya)”.
Osler: “One of the first duties of the physician is to educate the masses not to take medicine.” (Tugas pertama dokter adalah mendidik masyarakat untuk tidak mengkonsumsi obat).
Mas Han membuka rahasia ini dengan cara yang khas.
Saya berharap para calon dokter di Indonesia dibekali dengan ilmu komunikasi empatik (entah apa namanya saya kurang paham), yg intinya kemampuan untuk berkomunikasi penuh empati kepada pasien. Ini masih sangat-sangat kurang.... sehingga pasien2 yg kaya lebih suka berobat ke luar negeri...
BalasHapusGeneralisasi dokter Indonesia melupakan mayoritas yang berada di Irian, Kalimantan dan pelosok lainnya yang menyabung nyawa untuk menolong pasien. Membandingkan dokter kita dengan mereka yang diluar melupakan perbedaan dollar dan ripiah.
BalasHapusBetul Dok. Setuju. Tidak adil memang. Saya percaya masih cukup banyak dokter kita yang tulus mengabdi. Tapi industrialisasi medis yang merongrong moral sejawat kita.
BalasHapusSalam sehat.
Jadi Bang Nongki, aku tidak malu malah bangga menjadi dokter Indonesia. Ceritanya begini.
BalasHapusDi suatu seminar GNKP, Gerakan Nasional Kepedulian Pasien, saya datang sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Hak Pasien. Dalam dsikusi seprang pengacara papan atas mengatakan bahwa dokter mahal hingga pasien tidak mendapat pelayanan." Saya menjawab, "Ada nggak pengacara pakai karcis?" Dia diam. Saya lanjutkan, "Wah kita punya, bayar lima ribu, langsung berobat!"
Orang bilang, setiap hal selalu punya sisi baik dan sisi buruk. Bukan begitu, dok? Saya pikir tulisan Pak Hans yang ini juga mengajak pembaca untuk sama-sama melihat kondisi yang dikeluhkan pasien dari perspektif multi dimensi. Baik dari kacamata paramedik maupun dari kacamata (keluarga) pasien sendiri. Seperti sudah dokter singgung sebelumnya, Pak Hans "membukanya" dengan cara yang khas mewakili semua dokter yang prihatin - termasuk dokter tentunya - atas sikon yang ada. Paling tidak, begitu menurut hemat saya. Mohon dimaafkan kalau ternyata saya keliru. Salam.
BalasHapusKarya dr. Hans ini dapat dikatakan mewakili gambaran potret sistem kesehatan kita secara komprehensif. Padat, lugas dan mengena di jantung permasalahan.
BalasHapusMemang benar, banyak dokter baik yang masih memegang teguh etika dan hakekat layanan kesehatan terutama upaya preventif. Tapi masih bersifat personal, berhadapan dengan tembok-tembok tebal penghalang. Salah satunya, makin menjamurnya topeng "pengobatan gratis" (saya ibaratkan sarung gratis) di beberapa daerah tingkat II yang sejatinya permainan komersialisasi layanan kesehatan, terutama kuratif, dengan menggunakan uang rakyat.
Malu aku jadi dokter Indonesia, namun sedikit bangga telah berupaya menerjang tembok kekuasaan. Kalahpun masih bisa tersenyum bahagia.... hehehe. Semangat!
Lha? Sampe sekarang, sudah 4 hari ini lamanya status dokter yang juga "nyerempet" issue ini masih bertahan di sana bukan? Saya "ketularan" semangat, dok! Hehehe .....
BalasHapusNo problem Bang. Semuanya menunjukkan bahwa masyarakat masih sayang pada dokternya, sebaliknya tentu EGP.
BalasHapusCak Moki, Osler pernah berkata kira-kira begini, "Menjadi dokter itu baik, menjadi pedagang juga baik. Menjadi keduanya tidak baik." He he he
kenapa ya dulu bisa nyasar masuk FK? *mikir20x*
BalasHapusTul nasi sudah jadi bubur. Kalaulah ada reinkarnasi saya milih jadi pengacara saja. Terima perkara sudah ada duit. Belum lagi setiap duduk di pengadilan, honorarium, operasional dan tentu saja, success fee. Mengalir terus, bisa tahunan lagi, sampai MA..
BalasHapusKalau menurut saya, sebaiknya dokter-dokter juga turun ke desa-desa untuk mensosialisasikan gimana cara hidup sehat dan membangun lingkungan sehat.
BalasHapusDi tempat saya, eksekutip dan legislatip begitu bangga menyampaikan PAD yang besar dari RSU dan dipaparkan didepan NGO dari Eropah, orang Jerman itu terbahak bahak setelah diterjemahkan kepadanya, dia mengatakan, "Anda mestinya malu hidup dari penderitaan orang lain. Yang anda tidak pernah ajarkan adalah bagaimana cara hidup sehat."
Teman saya dokter SPOG, waktu saya tanya gimana cara menetapkan tarip kepada pasiennya di tempat dia praktek, dengan tersenyum simpul dia bilang; "aku lihat merek dari pakaian dalamnya, kalau merek terkenal, yah, lebih tinggilah dari merek yang tidak terkenal!"
@Bahar: iya dok... istiqomah jadi dokter tanpa merangkap menjadi pedagang, dikit tapi nikmat ...
BalasHapus@Zulhari: apa yang dikatakan teman SPOG penjenengan bener-bener nyata... ada yang melipatgandakan taripnya ketika tahu biaya pengobatan ditanggung perusahaan ... hehehe, malu aku jadi dokter Indonesia...
@cakmoki, piye yen banting stir jadi muridnya Ponari, Mama Laurens, dan Ki Joko Bodho wae? hehehehe....
BalasHapusNuwunsewu Abang Nonki, saya nunut ya. Sejujurnya saja, bacaan ini mengingatkan saya pada keluhan seorang pasien kanker stadium-II penyandang gakinda (atau askeskin saya lupa) di salahsatu kotamadya. Medikasi yang sebelumnya sudah diterimanya di RS rujukan Pemda tiba2 tdk dapat diteruskan. Lalu karena dia masih harus menjalani kemoterapi, beberapa prosedur pendahulu seperti scan ini dan scan itu (konon katanya sudah pernah dijalaninya dengan fasilitas askeskin/gakinda tadi), juga tiba2 tidak dapat dilayani oleh RS rujukan tsb. Awalnya dia tidak mengerti kenapa bisa terjadi begitu. Tapi kemudian dia mendapat info (off-the-record) yang menyebutkan bahwa peniadaan itu terpaksa dilakukan oleh RS sebab Pemda (atau lembaga pemerintah lain yang erkepentingan) belum melunasi tagihan RS atas biaya layanan kesehatan bagi masyarakat miskin ini sekitar 2 Milyar rupiah.
BalasHapusBayangkan, betapa putus asanya pasien ini, begitu juga ratusan, bahkan mungkin ribuan pasien bernasib serupa! Sebenarnya, atau setidaknya mereka melek sehat (sebab tentunya tak satupun dari mereka yang ingin membiarkan saja penyakit yang diderita semacam kanker itu sampai membunuh mereka), tapi karena ketidakberdayaan sebagai kelompok papa, mereka harus menerima kondisi ini hampir tanpa dapat berbuat apa-apa sama sekali. Padahal nilai tunggakan tadi sebetulnya tidak semahal harga 2 mobil menteri!
Sampai disini, saya pikir "hancurnya" pelayanan kesehatan bagi masyarakat (miskin) Indonesia tidak melulu sebagai akibat dari industrialisasi medis, atau integritas paramedik, atau hal2 semisal itu, akan tetapi termasuk juga mentalitas para penyelenggara negara (di kotamadya ybs) dan, ini yang jarang disebut-sebut, otoritas wakil rakyat yang kelewat mutlak (tapi diemban oleh insan2 yang tidak peka) sehingga setiap kali dihadapkan pada issue "pencairan dana," mereka betul2 tidak dapat lagi membedakan ini untuk kepentingan sendiri atau kepentingan puluhan, bahkan mungkin ratusan masyarakat miskin sakit yang sedang menyabung nyawa!
Aduh! Miris Mas BK. Sumpah!
BalasHapusBang, jika semua tulisan diatas adalah benar2 mewakili potret pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia, saya pikir kita membutuhkan banyak sekali dokter2 sekaliber Dr. Nadesul, Dr. Bahar dan Dr. Moki untuk mencerdaskan masyarakat kecil agar tahu dan berani menyuarakan hak2 asazinya sebagai WN (yang sudah "dijual" namanya dalam upaya executive mendapatkan restu DPR menetapkan alokasi angka2 triliunan dalam APBN). Diatas semua itu, para petinggi dan pembuat keputusan itu sebenarnya siapa sih yang menggaji?
BalasHapus@Siber Medik: hahaha... ora usah khawatir menghadapi realitas "dunia persilatan" or ranah layanan medis. Justru di situlah kita memutuskan mau bermakmum kepada hati nurani ataukah kepada Mak Lampir ... Milih sing bener wae, insyaAllah nikmatnya tidak bisa diukur dengan uang.
BalasHapus@Botjah Kampoeng: setuju Mas... persoalan utamanya terletak pada mentalitas. Andai jujur dan tulus, rasanya tidak perlu ada kejadian seperti yang penjenengan ceritakan.
Beruntung sekali saya bisa membaca dengan seksama diskusi rekan sejawat yang jauh lebih senior dan rekan2 yang kritis menilai problematika pelayanan kesehatan di negeri tempat Allah menitipkan saya berikut amanah kesempatan mengenyam pendidikan dokter.
BalasHapusMudah2an makin banyak Dokter yang bekerja dengan hati nurani, masyarakat makin cerdas, pelayanan kesehatan di Indonesia makin berkualitas sehingga suatu saat Dr. Nadesul bisa merilis tulisan Bangga Aku Jadi Dokter Indonesia (!)
Karena sakit, saya jadi kenal lebih banyak dokter dibandingkan dengan sebelumnya. Sebagai individu saya percaya semua dokter2 yang saya kenal itu baik hati. Tapi sebagai bagian dari sistem industrialisasi medis, tentu saja hanya nurani beliau2 saja yang dapat menjawab. Sebab ini benar2 menyangkut integritas masing2 individu itu sendiri.
BalasHapusKarena sakit pula, saya jadi akrab dengan kondisi yang terpotret di atas dibandingkan - mungkin, dengan kebanyakan masyarakat sehat yang relatif terbebas dari lingkaran yang memprihatinkan ini. Karenanya, saya hanya bisa berharap semoga kumuhnya citra pelayanan kesehatan di negeri ini dapat segera berganti menjadi acungan jempol di sana-sini. Sebab, jika tidak demikian maka tidak saja Dr. Nadesul seorang, saya percaya sahabat2 saya (sebagian ikut di tag disini) yang dokter baik hati itupun tentunya akan sepakat untuk secara aklamasi menyatakan; Malu aku jadi dokter Indonesia (?). Jika sudah demikian, lantas bagaimana jadinya dengan nasib kami yang hanya berposisi sebagai pasien?
@Mimi: tenang mbak... "Malu Aku Jadi Dokter Indonesia" maksudnya malu jika para dokter yang menginginkan perbaikan layanan medis tidak berbuat apa-apa dan hanya berkeluh kesah ... hehehe...
BalasHapusJudul itu menurut saya menunjukkan kerendahan hati Dr. Hans sekaligus ajakan kepada para dokter dan khalayak untuk bahu-membahu memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan.
Saya tidak malu menjadi dokter, tapi malu menjadi orang Indonesia. Kenapa? NOLO, no order law only!
BalasHapusArtinya musti dipisah neh, antara dokter Bahar sebagai seorang dokter di Indonesia dan dokter Bahar sebagai seorang warga negara Indonesia. Hehehehehe ...... peace dok! Tapi ngomong-ngomong, bukannya MONO dok? Many Orders and NO problems with Law. Hehehe ... peace lagi dok!
BalasHapus@Bang Zulhari & mbak Titah, betul. Menurut hemat saya - dan rasa keadilan publik tentunya, di sana memang sangat-sangat dibutuhkan yang namanya empathy dan keluhuran budi dari setiap dokter yang khusus untuk ini, nyata-nyata memang sejak awal sudah diruntut oleh sumpah profesi bukan? Kendati tentunya tidak adil untuk menjeneralisasi, tapi sebagai rakyat kecil memang sedih rasanya mendapati akibat dari industrialisasi medis di Republik ini yang diam-diam juga membawa dampak pada semakin tidak berimbangnya hubungan causal antar penyedia jasa layanan
kesehatan dan masyarakat banyak.
@Kang Dani, soal benar tulisan di atas mewakili potret pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia atau tidak, saya pikir relatif, tergantung siapa yang, atau dari sudut mana melihatnya. Kalau dari sudut kita, ya, saya setuju sepenuhnya bahwa masyarakat kecil kita yang "sakit" dan seolah dimarginalkan ini harus mendapatkan salahsatu hak-hak primer mereka sebagai warga negara, yakni pelayanan kesehatan yang wajar dan memenuhi asas kepatutan. Betul, untuk itu memang kita sangat membutuhkan perhatian dan bantuan moral dari bapak-bapak/ibu-ibu dokter kita yang selama ini sudah terbukti dengan sadar dan ikhlas mengambil posisi sebagai "raw models" yang pantas ditiru dan digugu oleh semua pihak. Lalu, soal siapa yang menggaji para petinggi dan pembuat keputusan seperti yang diceritakan mas BK itu, gimana ya? Coba mari sama-sama nanti kita lihat APBN pemerintah, pendapatan negara dari sumber mana kira-kira yang paling besar jumlahnya ya?
@Dokter Sri, senang rasanya bu dokter ikut urun pendapat lagi bersama kita di sini. Istiqomah dan memegang teguh Amanah yang sudah bu dokter buktikan selama ini di tanah rantau rasanya pararel dengan semangat dr. Hans, dr. Bahar, cak dokter Moki dan tentunya masih banyak lagi dokter lain di luar lingkaran ini. Sungguh, saya merasa sangat beruntung dan bangga mendapat kesempatan "berteman" dengan bu dokter dan semua dokter-dokter yang namanya ikut di tag dalam diskusi ini.
@Mimi, aku kudu ngomong opo yo? Oiya, musti bilang maturnuwun sama cak dokter yang sudah mewakiliku urun jawaban. Hehehe ... boleh minta dibuatin 2 mug pireng nasgitel dunk?
Tinggal saya masih agak penasaran sebab belum mendengar sendiri gimana kira-kira "bu Kris" Bantas menyikapi "keluhan kolektif" dokter-pasien kita ini. Sebagai seorang mbakyu yang sudah saya kenal sejak masa kanak-kanak dulu dan sebagai guru dari banyak dokter di UI sampai sekarang ini, tentu saja ada dua pendapat berbeda yang salahsatunya boleh dibagi di sini bukan? hehehe ... *tuing!*
BalasHapusSetuju Bang. Hidup ini memang harus piece. Sebagai dokter saya bangga menjadi satu ttik di kolegium dokter dunia, suatu persaudaraan yang lahir tahun 500 SM. Sebagai warganegara saya setiap hari melihat tiadanya keteraturan (NO ORDER) walaupun diatur oleh hukum (LAW ONLY). Demikian hebatnya hingga ketidakteraturan itu menjadi hal yang dianggap normal. Katakanlah jalan untuk pejalan kaki yang normal dipakai untuk berjualan. Atau pengendara sepedamotor normal berlari dijalur cepat. Atau angkutan umum normal berhenti ngetem dipinggir jalan. Maka tidak mengherankan bila ketidakteraturan yang terbina sejak lahir itu hidup subur di kalangan profesional termasuk dokter. NOLO: Anggota dewan yang terhormat berujar "bangsat!"
BalasHapusWah! Kalo sudah bicara pasal Law & Oeder begini, saya jadi ingat dulu kita sering nonton serial tivi dengan judul yang sama dan satu serial lagi berjudul Dark Justice. Contoh yang bagus untuk ditiru, terutama filem yang kedua ....
BalasHapusLaw & order sekarang episode baru Bang, di Universal. Tambah keren!
BalasHapusMembaca tulisan berjudul "Malu Aku Jadi Dokter Indonesia" dan sumua komentar yang berkaitan dengan tulisan tersebut, lalu saya menjadi berpikir untuk menngambil suatu kesimpulan untuk tidak menikahkan anak gadis saya dengan dokter, terutama Dokter Spesialis Gigi. Alasannya kalau "goyang" dicabut, "goyang" dicabut, gimana dia harus pertahankan mahligai perkawinannya? Kasihan kan dia .................. ???
BalasHapusSemua komentar di atas disalin ulang dari 're-publikasi' opini dr. Handrawan Nadesul dalam notes saya dengan judul yang sama di facebook, pada tanggal 5 Januari 2010.
BalasHapusUntuk melihat aslinya silahkan klik di sini.
Semoga bermanfaat!
Salam.