Hidup di negeri yang tanpa jaminan sosial sangatlah sulit. Jika sakit, jangan harap bisa langsung menikmati layanan kesehatan gratis. Bahkan, tak sedikit pula warga yang harus meregang nyawa karena tak mendapat pertolongan medis.
“Ini menimpa pada dua pekerja hotel Grand Aquilla Bandung. Mereka meninggal karena tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan karena tak mempunyai jaminan kesehatan,” beber anggota Komisi IX DPR Rieke Dyah Pitaloka saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (6/4) dalam perkara gugatan Jaminan Sosial.
Ironisnya lagi, lanjut Anggota dari Fraksi PDIP itu, ada anak dari seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Stabat, Sumatera Utara yang sampai meninggal karena menderita kanker paru-paru.
“Padahal jaksa itu mempunyai jabatan Kasipidum (Kepala Seksi Pidana Umum, red). Tapi karena yang sakit itu adalah anak ketiga, maka biaya pengobatan (anak itu) tidak ditanggung oleh Askes. Akhirnya karena terlalu lama tak ditangani, anak itu meninggal,” ungkap Rieke.
Lebih jauh, Rieke bukannya tidak tahu ada program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) ataupun program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK Gakin) yang didengungkan pemerintah.
“Tapi program-program itu bukan jaminan sosial, melainkan bantuan sosial. Sifatnya hanya charity. Tergantung kebijakannya. Mirip dengan program BLT (Bantuan Langsung Tunai, red),” kata Rieke.
Sementara jaminan sosial, lanjut Rieke, bersifat terus-menerus, tidak diskriminatif dan tidak ada pembatasan. Merujuk pada konstitusi, jaminan sosial ini terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan, jaminan pensiun dan jaminan kematian.
“Siapapun yang sakit, baik itu orang miskin atau orang kaya, berhak mendapat jaminan kesehatan. Itu baru yang namanya jaminan sosial.”
Lantaran sifatnya yang tak berlaku ke semua lapisan masyarakat, banyak warga yang ‘mengakali’ untuk mendapatkan bantuan kesehatan. Tak sedikit yang berpura-pura menjadi warga miskin. “Istilahnya, ‘Sadikin’. Sakit Jadi Miskin,” seloroh Rieke.
Pernyataan Rieke dikuatkan oleh Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta. Didaulat sebagai ahli di persidangan, Marius mengaku pernah melakukan penelitian soal kepuasan masyarakat terhadap program jamkesmas. Penelitian dilakukan sepanjang 2008 hingga 2009 di 31 provinsi.
Dari hasil penelitiannya, Marius menemukan banyaknya kelemahan dan kebobrokan dalam pelayanan jamkesmas. Mulai dari pelayanan yang diskriminatif hingga indikasi korupsi jamkesmas.
“Ada warga yang terpaksa menahan sakit karena tak bisa membayar operasi pencabutan pen dari kakinya. Ia juga tak punya jamkesmas karena tak punya KTP,” Marius mencontohkan.
Temuan lain, lanjut Marius, ada seorang perempuan yang menderita tumor ovarium. Untuk dioperasi, perempuan yang sudah masuk program jamkesmas itu harus menyediakan tambahan Rp750 ribu. Jika tidak ada dana, operasi akan dilakukan tanpa pembiusan. “Ini sangat kejam,” kata Marius yang juga berprofesi sebagai dokter ini.
Maka itu, Marius berpendapat, satu-satunya kunci menjawab masalah aksebilitas kesehatan bagi seluruh warga negara adalah dengan penerapan jaminan sosial. Jaminan sosial ini harus didasarkan pada suatu produk hukum yang pasti.
Harapan Marius bisa jadi bakal hanya tinggal harapan. Sebab, hingga menjelang masa sidang DPR berakhir pada 8 April mendatang, pemerintah enggan melanjutkan pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS).
Untuk mengingatkan gugatan warga negara dilayangkan 120 warga negara kepada Presiden, Ketua DPR, Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pertahanan, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Sosial, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
0 Komentar