KUALITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KITA
Jakarta, Kompas - Tidak hanya kinerja yang dinilai buruk, kualitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 juga dinilai lebih rendah dibandingkan dengan anggota DPR periode sebelumnya. DPR periode sekarang dinilai lebih hedonis dengan gaya hidup mewah dan jauh dari rakyat.
Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia Sebastian Salang mengungkapkan, dengan hanya melihat kondisi DPR pada era Orde Baru, bisa dengan mudah disimpulkan bahwa kinerja legislasi DPR periode saat ini jauh lebih buruk. ”DPR pada masa Orde Baru itu hanya punya satu ruangan kecil yang diisi enam sampai delapan orang. Mereka hanya ditemani satu sekretaris. Meski mereka saat itu lebih banyak menjadi stempel pemerintah, produktivitasnya bagus,” kata Sebastian di Jakarta, akhir pekan lalu.
Bachtiar Effendy, pemerhati politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, menuturkan, DPR saat ini merupakan cermin dari praktik politik yang amat dasar, yaitu siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Keadaan ini merupakan buah dari rendahnya kualitas dan kompetensi orang yang ada di dalamnya serta tidak adanya desain besar di pemerintahan. ”Politik menjadi komoditas, tidak lagi panggilan hidup. Menjadi anggota DPR lebih menjadi pekerjaan untuk memperoleh manfaat ekonomi sebesar-besarnya, bukan untuk memperjuangkan nilai tertentu,” kata Bachtiar.
Secara terpisah, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, DPR periode ini mengalami alienasi dengan rakyat yang mereka wakili. ”Mereka tak lagi nyambung dengan rakyat. Perilaku politik anggota DPR menjadi hal yang asing bagi rakyat,” katanya. Jika dibandingkan, kinerja dan kualitas DPR periode awal pascareformasi juga masih jauh lebih bagus dibandingkan dengan anggota DPR sekarang. ”Setelah reformasi, anggota DPR memang sudah punya ruangan sendiri, tetapi mereka belum punya staf ahli. Anggaran untuk membahas satu RUU saat itu hanya Rp 300 juta, tetapi hasilnya lebih baik. Lihat saja, jarang sekali produk UU yang dihasilkan DPR periode 1999-2004 digugat di Mahkamah Konstitusi. Bandingkan dengan DPR periode sekarang, baru sebulan mengesahkan UU langsung digugat di MK, seperti UU Partai Politik,” ungkap Sebastian.
Kondisi itu sangat ironis mengingat DPR sekarang didukung fasilitas lengkap dan anggaran lebih besar. ”DPR sekarang punya dua staf ahli dan satu asisten. Biaya pembahasan satu RUU bisa mencapai Rp 5,2 miliar. Namun kenyataannya, kami mencatat selama periode satu tahun masa kerja mereka (Oktober 2009-Oktober 2010) hanya tujuh UU yang dihasilkan, itu pun lima UU hanya ratifikasi perjanjian internasional. Satu UU merupakan inisiatif pemerintah karena berupa UU APBN,” ujarnya. Dengan kenyataan seperti itu, kata Sebastian, tidak ada hubungan antara peningkatan anggaran dengan perbaikan kualitas dan kinerja DPR.
Menurut dia, penyebab buruknya kinerja dan rendahnya kualitas anggota DPR ialah disiplin yang kurang. Budayawan Hardi mengatakan, kualitas DPR saat ini medioker sehingga mereka seperti tuli dan buta terhadap kritik rakyat. ”Lihat saja argumen-argumen mereka yang ngotot membangun gedung baru. Mereka hanya siap dengan pernyataan-pernyataan pendek,” ujarnya.
Mental medioker itu, menurut Hardi, juga terlihat dari perubahan sikap anggota DPR yang sangat hedonistis. ”Ibarat ungkapan Jawa, ini seperti kere munggah bale. Biasa ngopi di warteg, sekarang harus menuntut di hotel bintang lima. Mentalitas ini mudah terlihat saat mereka ngotot ingin membangun gedung baru. Tidak ada sedikit pun dari mereka yang meminta gedung baru ini dilengkapi dengan perpustakaan. Barangkali mayoritas dari mereka enggak suka baca buku,” katanya.
Menurut sosiolog Universitas Sriwijaya, Palembang, Alfitri, buruknya kinerja DPR juga disumbang oleh peran partai politik yang tak signifikan dalam membentuk karakter kader. ”Parpol tidak mengajarkan bagaimana basis bernegara. Makanya muncul perilaku yang aneh. Cara mengobatinya, ya, dengan mengajari anggota DPR kejujuran dan kesederhanaan,” ucapnya.
Menurut Bachtiar, dalam kondisi seperti itu, berbagai suara keprihatinan masyarakat, seperti tentang rencana pembangunan gedung baru oleh DPR dan rendahnya kinerja lembaga itu, hanya dianggap sebagai angin lalu. ”Pikiran utama sebagian anggota DPR saat ini adalah bagaimana di posisi sekarang dapat menggunakan wewenang yang ada sebaik-baiknya, seperti untuk menyusun anggaran. Omongan pihak lain, mengapa harus diperhatikan?” ucap Bachtiar.
Musisi Ananda Sukarlan bahkan menilai DPR tidak perlu ada. Menurut Ananda dalam acara Konser #Koinsastra di Bentara Budaya Jakarta, sudah ada Twitter tempat rakyat bisa mengemukakan pendapat secara demokratis. DPR yang semestinya jadi wakil rakyat malah ribut sendiri dengan berbagai kepentingan.
Seorang karyawan swasta di Jakarta, Catherine, juga setuju bahwa DPR tidak perlu ada. ”DPR tidak mengurusi rakyat, cuma berlomba menggemukkan kantong sendiri,” ujarnya.
Lalu, bagaimanakah kualitas anggota DPR kita dari masa ke masa?
Berikut adalah sebagian catatan tentang mereka yang dimulai dari periode sebagaimana diceritakan di atas.
0 Komentar