Ada kopi yang paling enak. Melebihi nikmatnya kopi Starbucks di warung Bulungan di Jakarta. Juga tak sebanding dengan kopi Ulee Kareng di Warung Chik Yuke Banda Aceh. Apalagi kopi Ateng dan Arabika dari Aceh Tengah.
Bila malam-malam kami menikmati kopi yang satu ini, pasti saja badan menjadi lebih segar. Mata menjadi lebih melek. Dan pikiran lebih fokus pada huruf-huruf di layar komputer. Pasti saja banyak di antara rekan-rekan sekarang keranjingan minum kopi.
Padahal mereka anak-anak muda. Usia masih di bawah 25 tahunan. Kita boleh bilang, keranjingan minum kopi memang tak mengenal usia. Siapa saja. Senyawa caffein yang membuat segar dan menghilangkan kantuk itu, telah menjadi ‘candu’ dunia. Negara-negara maju pun kian bernafsu mematenkan merek dagang kopi mereka. Walaupun kadang harus mencaplok ‘wilayah’ kopi negara lain. Lihat saja, misalnya, Belanda kini telah mematenkan kopi Gayo sebagai kopi milik mereka - simak beberapa catatan tentang kopi Gayo ini di sini.
Saya juga sebenarnya suka menikmati kopi Gayo. Lebih-lebih kopi yang digonseng tanpa campuran biji jagung, beras ketan dan bermacam biji-bijian penyedap aroma. Adalah kopi yang diproses secara alami. Yang ditumbuk di jingki oleh inen-inen di pedalaman Aceh yang berhawa dingin itu.
Tapi kali ini kami kerap disuguhkan kopi yang tidak berasa. Kopi yang hambar dan tidak beraroma. Tiap malam ketika membuka kiriman ‘kado’ via email dari para wartawan di daerah, yang muncul di layar komputer adalah kopi-kopi basi bekas minuman orang. Entah siapa yang memulai, entah siapa pula wartawan kami yang suka mencomot kopi basi milik wartawan lain.
Kopi paste memang terasa paling enak. Tapi yakinlah, kopi yang satu ini tidak akan membuat segar dan sehat. Kami sama sekali tidak menganjurkan wartawan kami meminum kopi jenis ini, karena akan membuatnya menjadi tumpul pikiran dan miskin imajinasi.
Oleh: Nasir Gabra - Aceh Forum Comunity
0 Komentar