Rekam Medis, Apa Sih Kegunaannya?


Jika kita perhatikan, dalam pelayanan kedokteran di tempat praktek maupun di Rumah Sakit, biasanya dokter atau perawat membuat catatan mengenai berbagai informasi mengenai pasien dalam suatu berkas yang dalam dunia medis dikenal sebagai Status, Rekam Medis, Rekam Kesehatan, atau Medical Record.

Berkas ini merupakan kumpulan catatan yang memiliki arti penting tidak saja bagi pasien, akan tetapi juga bagi dokter, tenaga kesehatan, serta Rumah Sakit di mana pasien menjalani perawatan. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Rekam Medis, berikut adalah catatan yang mungkin ada baiknya untuk diketahui, khususnya oleh pasien (dan keluarganya).

Definisi
Definisi Rekam Medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan berdasar beberapa versi, seperti di antaranya:

1.Menurut Edna K Huffman:
Rekam Medis adalah berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, di mana, kapan, dan bagaimana pelayanan yang diperoleh seorang pasien selama dalam perawatan atau menjalani pengobatan.

2. Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989:
Rekam Medis adalah berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, basil pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang diterima pasien pada sebuah institusi pelayanan kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.

3. Menurut Gemala Hatta:
Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleh para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.

4. Menurut Waters dan Murphy:
Rekam Medis adalah Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan”.

Isi Rekam Medis
Isi Rekam Medis merupakan catatan tentang keadaan tubuh dan kesehatan, termasuk data identitas dan data medis seorang pasien. Secara umum isi Rekam Medis dapat dipisahkan dalam dua kelompok, yaitu:

1. Data medis atau data klinis:
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan serta hasilnya, laporan dokter, perawat, hasil pemeriksaan laboratorium, rontgen, scanning, dlsb. Pada prinsipnya data-data ini merupakan catatan yang bersifat rahasia (confidential) sebingga tidak boleh diperlihatkan kepada pihak ketiga tanpa izin dari pasien yang bersangkutan, kecuali karena alasan lain yang berdasarkan peraturan atau perundang-undangan mengharuskan dibukanya informasi tersebut.

2. Data sosiologis atau data non-medis:
Adapun yang termasuk dalam kelompok ini adalah segala data pendukung yang tidak berhubungan secara langsung dengan data medis seperti identitas, data sosial ekonomi, alamat dlsb. Data ini oleh sebagian orang dianggap bukan rahasia, tetapi menurut sebagian lainnya merupakan data yang juga bersifat rahasia (confidensial).

Penyelenggaraan Rekam Medis
Penyelenggaraan Rekam Medis pada sebuah institusi pelayanan kesehatan merupakan salah satu indikator penting menyangkut mutu pelayanan pada lembaga tersebut. Berdasarkan data pada Rekam Medis akan dapat diketahui bagaimana mutu pelayanan yang diberikan kepada seorang pasien, atau apakah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada seorang pasien dianggap memenuhi standar atau tidak.

Untuk keperluan inilah Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan, menerbitkan peratuaran tentang tata cara penyelenggaraan Rekam Medis melalui Permenkes No.749a1Menkes/Per/XII/1989. Secara garis besar penyelenggaraan Rekam Medis menurut Permenkes tersebut diatur sebagai berikut:

1. Rekam Medis harus segera dibuat dan dilengkapi seluruhnya setelah pasien menerima pelayanan (pasal 4). Hal ini dimaksudkan agar data yang dicatat masih original dan tidak ada yang terlupakan karena adanya tenggang waktu.

2. Setiap pencatatan Rekam Medis harus dibubuhi nama dan tanda tangan petugas pelayanan kesehatan. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sistim pertanggung-jawaban atas pencatatan tersebut (pasal 5).

Pada saat seorang pasien berobat ke dokter, sebenarnya telah terjadi suatu hubungan kontrak terapeutik antara pasien dan dokter. Hubungan tersebut didasarkan pada kepercayaan pasien bahwa dokter tersebut mampu mengobatinya, dan akan merahasiakan semua rahasia pasien yang diketahuinya pada saat hubungan tersebut terjadi.

Dari hubungan ini banyak data-data pribadi pasien yang dengan sendirinya diketahui oleh dokter dan tenaga kesehatan yang memeriksanya. Sebagian rahasia tadi selanjutnya disimpan dalam bentuk tulisan yang kemudian kita kenal sebagai Rekam Medis. Dengan demikian, maka adalah merupakan kewajiban tenaga kesehatan untuk tetap menjaga kerahasiaan data pasien, termasuk juga di dalamnya menjaga kerahasiaan isi Rekam Medis pasien.

Pada prinsipnya ISI Rekam Medis adalah milik pasien, sedangkan BERKAS Rekam Medis adalah milik Rumah Sakit atau institusi kesehatan yang merawat si pasien.

Pasal 10 Permenkes No. 749a menyatakan bahwa berkas rekam medis itu merupakan milik sarana pelayanan kesehatan, yang harus disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal terakhir pasien berobat. Untuk tujuan itulah di setiap institusi pelayanan kesehatan, dibentuk Unit Rekam Medis yang bertugas menyelenggarakan proses pengelolaan serta penyimpanan Rekam Medis di institusi tersebut.

Manfaat Rekam Medis
Permenkes no. 749a tahun 1989 menyebutkan bahwa Rekam Medis memiliki 5 manfaat yaitu:

1. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien
2. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum
3. Bahan untuk kepentingan penelitian
4. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan
5. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Adapun dalam kepustakaan medis, 5 manfaat tersebut dikenal dengan singkatan ALFRED, yaitu:
  1. Adminstratlve value: merupakan rekaman data adminitratif pelayanan kesehatan.
  2. Legal value: dapat dijadikan bahan pembuktian di pengadilan
  3. Financial value: dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien
  4. Research value: dapat dijadikan bahan untuk penelitian dalam lapangan kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
  5. EDucation value: dapat menjadi bahan pengajaran dan pendidikan bagi mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga kesehatan lainnya.
Penyimpanan Rekam Medis
Dalam audit medis, umumnya sumber data yang digunakan adalah rekam medis pasien, baik yang rawat jalan maupun rawat inap. Meskipun banyak memiliki kelemahan, namun Rekam Medis adalah sumber data pasien terbaik yang dapat diperoleh dari sebuah rumah sakit.

Beberapa kelemahan Rekam Medis yang sering ditemui adalah kurang lengkapnya data pasien menyangkut kondisi sosial-ekonominya, kesehatan pasien pada umumnya, persepsi pasien terhadap penyakitnya, termasuk tidak lengkapnya catatan penatalaksanaan 'pelengkap' dari dokter dan perawat, catatan kunjungan rawat inap, serta hasil kontrol pasca perawatan, dlsb.

Dampak yang diharapkan dari audit medis (bila dilakukan) tentu saja adalah peningkatan mutu dan efektifitas pelayanan medis yang diselenggarakan oleh suatu institusi pelayanan kesehatan. Di samping, tentunya, untuk mengetahui perilaku para profesional dan tanggungjawab manajemen terhadap hasil audit tersebut, seperti misalnya seberapa jauh pengaruh audit terhadap beban kerja, akuntabilitas, prospek karier, etika, moral, dan bahkan jenis pelatihan mana yang mungkin diperlukan guna meningkatkan kualitas pelayanan medis dari suatu institusi pelayanan medis.

Dalam hal karena satu dan lain alasan pasien harus 'dirujuk' untuk melanjutkan perawatan/pengobatannya ke institusi pelayanan kesehatan lain, maka dokter yang merawatnya wajib menerbitkan ringkasan Rekam Medis pasien yang dalam hal ini dikenal dengan sebutan Resume Medis. Tentang ini secara juridis formal diatur dalam tata-laksana HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN menurut:

* Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
* Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan
* Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (Ditjen Yanmed) Depkes RI No. YM.02.04.3.5.2504

Di antara semua manfaat Rekam Medis, yang tidak kalah penting adalah aspek legalnya. Pada kasus malpraktek medis atau farmasi misalnya, Rekam Medis merupakan salah satu bukti tertulis yang sangat penting. Berdasarkan informasi dalam Rekam Medis, petugas hukum dapat menentukan benar tidaknya telah terjadi malpraktek, bagaimana terjadinya, serta menentukan siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab atas peristiwa tersebut.

Dari astaqauliyah
Baca juga; Rekam Medis Online, Masih Sebatas Cita-Cita



Posting Komentar

15 Komentar

  1. Ada pertanyaan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pasien - atau keluarga dekatnya - bila dokter yang merawat pasien sama sekali tidak menjelaskan apa pun tentang kondisi pasien kepada pasien atau keluarga dekatnya?

    BalasHapus
  2. maksudnya biar buat hitungan berapa banyak biaya yg uda abang kluarin, gitu bang kira2 apa yg ada diotak saya. ...

    BalasHapus
  3. ‎@mbak Ina, menurut ALFRED sih, salahsatu gunanya memang itu. Tapi dalam prakteknya, jarang sekali kita menjumpai catatan tentang ini di dalam berkas Status atau Medrek pasien. Lha? :-)

    BalasHapus
  4. Dokter seharusnya memberi informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya ttg diagnosis, terapi maupun prognosis dari penyakit pasiennya sehingga pasien/keluarga yg bertanggug jawab atas pasien memahami apa yang (telah,sedang,akan)... terjadi pada pasien..pada kenyataannya yg sering kita alami adalah, dokter kurang memberi informasi kpd pasien, dan pasieng 'takut' bertanya pada dokternya (padahal sdh menjadi hak pasien)..menurut sy yang pertma-tama harus diperbaiki adalah 'perilaku' dokter terlebih dahulu..(mnkin dr sisi kurikulum pendidikan kedoktran yang harusnya memasukkan ilmu bagaimana seharusnya berkomunikasi dgn pasien)..tp menurut sy masih ada lagi yg penting bagi para dokter adalah sikap 'ojo dumeh', ojo gawe wedhi pasien untuk bertanya..

    BalasHapus
  5. Bang, seandainya menahan informasi itu menjadi penyebab langsung dan ayau utama dari musibah, dokter ybs melakukan malpraktek dan Abang berhak mencari keadilan

    BalasHapus
  6. Menurut saya, Alfred belum cukup karena ada hal penting yang sering tidak terekam, yakni feedback pasien terhadap respon pengobatan dan tindakan medik yang dipilih atas respon tersebut. Bahkan, feedback terkait respon positif atas obat atau ...tindakan medik semestinya juga terekam sehingga ketidak nyamanan pasien maupun kenyamanannya juga terekam.

    Sejujurnya, RM masih jauh dari angan... tapi harus selalu diperbaiki terutama aspek kenyamanan pelayanan bagi pasien.

    Saya sendiri meninggalkan RM konvensional baru 3 bulan yang lalu, beralih ke RM Digital di tempat "pracangan", yang tentunya jauh lebih ringkas, lebih cepat, lebih mudah menelusuri jejak setiap pasien, bahkan dapat digunakan interaksi aktif dengan pasien atau keluarga dekatnya ... :D
    Setelah merasakan mengerjakan sendiri (setiap hari menyediakan waktu 1-2 jam untuk record sendiri), mendesign sendiri, saya mulai melihat kebenaran opini saya sebelumnya bahwa RM yang bermanfaat akan tercapai jika dilandasi niat, kesungguhan dan istiqomah. Kalo hanya project oriented, maka bersiaplah menjadikan RM sebagai 'just recording & reporting".

    DI RS, mestinya lebih mudah ... lebih terintegrasi... sehingga pasien tidak harus wira-wiri membawa berkas ketika diperlukan konsul antar spesialis. Maaf kalo pendapat saya keliru :)

    Nuwun sewu Kangmas, di halaman ini saya juga ingin menyampaikan titipan bahwa RM yang bagus dan bermanfaat tidak harus mahal, tidak harus jutaan... tidak harus tergantung pada Operator. Maturnuwun

    BalasHapus
  7. Sehubungan dgn pertanyaan abang di komentar teratas, jawabannya adalah pakai jurus NGOTOT JAYA. Ini pernah saya praktekkan saat mendampingi ibu mertua (ca colon), dokternya tidak mau menjelaskan secara detail kondisi, prognosis, tindakan, r...esiko tindakan, isi rekam medis, dll. dengan dalih itu semua adalah RAHASIA. Saya & suami tak kalah ngotot dgn dalih bahwa kami yg merawat dan harus menghadapi kondisi beliau setiap harinya; kalau kami tidak mengerti benar, lalu salah merawat & berakibat fatal, bagaimana?

    Dengan memanfaatkan jurus tambahan BAWEL ABIS, akhirnya satu jam lebih dokter menjelaskan kondisi ibu, ditutup dengan saran beliau, "Lain kali kuliah kedokteran sendiri ya... mosok ilmuku selama 35 tahun kuliah & praktek mau kamu serap habis," hwakaka....

    BalasHapus
  8. ‎@Ibu Candrawati: ikutan nimbrung nih,..banyaak sekali dokter indonesia yg berperilaku spt yg ibu ceritakan..dhumeh jadi dokter merasa bisa 'menyembuhkan' orang, mrs separuh dewa, mrs bs melakukan apa yg sj yang dia inginkan pada pasien tanpa memberi penjelsan yg komprehensif pada pasien atau keluarganya..sy jadi curiga,jangan2 dokter yg spt itu yang selalu berlindung dibalik alasan RAHASIA pasien, sebetulnya adalah dokter yg tidak percaya diri dgn kemampuannya alias 'bodo' (sorry)...

    BalasHapus
  9. ‎@ Ibu Krisnawaty: betul bu. mungkin juga beliau berpendapat bahwa dijelaskan pun kamu (pasien) tidak akan mengerti, tiwas bingung & stres, jadi mending nurut aja deh. gitu kali ya...

    tapi adikku pernah jadi korban keterbatasan informasi ini...; menjalani operasi pengangkatan rahim dgn diagnosa awal mioma; usai operasi dokter ditanya hasil PA jawabnya bagus, gak ada apa2 kok, sudah sembuh, jangan dipikirin. 2 bulan kemudian muncul benjolan 8x12 cm di perutnya.. ternyata kanker stadium 4, poorly differentiated, dengan prognosis hanya bertahan maks 6 bulan, hiks...

    makanya BAWEL ITU PENTING, ya nggak bu?

    BalasHapus
  10. ‎@Bude Kris, saestu. Saya jadi teringat lagi, dan lagi, tulisan cak 'dokter' Moki yang juga sudah 'menyentil' beberapa fakta tentang ini seperti di antaranya di sini. Sekilas memang terlihat enteng-enteng saja, tapi kalau kebetulan kita betul-betul berada dalam situasi dimaksud, ya, sepertinya mblenger juga de. Sebagai keluarga pasien, gumun juga rasanya kalo di jaman seperti sekarang ini masih juga ada dokter yang mengidap syndroma 'dokternya anda atau saya' seperti itu kan? Tapi faktanya, ternyata memang masih ada de.

    @Dr. Bahar, syukur saya belum sampai ke sana dok. Pertanyaan itu datang dari sesama 'keluarga dekat' pasien yang kebetulan ngupi - dan ngobrol ngalor-ngidul - bareng saya di kantin RS beberapa waktu lalu. Tapi, berdasar advis dokter ini, nampaknya sekarang beliau sudah lebih 'ajeg' untuk sewaktu-waktu angkat bicara bila memang dipandang perlu. Sekalian saja saya anjurkan supaya menyimak juga catatan dokter di di sini. Terima kasih banyak advisnya ya dok.

    @Cak Dokter, saya jadi suka menggunakan kata 'keluarga dekat' pasien :-) karena sepertinya ini juga luput dari perhatian, terutama untuk kasus-kasus di mana pasien sudah 'tidak dapat lagi berbicara' atas nama peribadi karena koma misalnya, atau sulit berbicara akibat serangan otak (konon katanya terminologi baru untuk stroke?), atau sebab-sebab lain yang mengakibatkan hak-haknya sebagai pasien terpaksa diwakili oleh keluarga terdekat. Sampai di sini, bukankah 'keluarga dekat' pasien tadi praktis sebetulnya juga berhak untuk berinteraksi dengan dokter berdasarkan RM sebagaimana diatur oleh Permenkes No.749a1Menkes/Per/XII/1989?

    Perihal wira-wiri sembari nggembol berkas pasien untuk konsul dari satu spesialis ke spesialis lain, saya sendiri sebetulnya sudah lumayan thuwok dok. Tapi sering juga dibuat terheran-heran karena jangankan diperbolehkan ikut rembukan soal isi RM, lha wong minta dibuatkan Resume Medis (untuk berjaga-jaga saat pasien diperbolehkan pulang dari rawat inap) saja sepertinya sudah dianggap 'sotoy' banget oleh petugas kok!

    Saya bersyukur bahwa nun jauh di sana, cak dokter sudah beberapa langkah di depan soal 'ngopeni' RM ini sampai ke tahap digitaly online, bahkan interaktif dengan para pihak, termasuk dengan pasien dan 'keluarga dekat' :-) nya. Saya pikir, tentunya lebih maju ketimbang beberapa RS beken di ibukota, tetangga ibukota, termasuk beberapa kota besar seperti Surabaya contohnya. Karena itu, berdasarkan pengalaman 'ubyang-ubyung' dari satu RS ke RS lain ngurusi 'keluarga dekat' yang sakit, terutama sejak 3 tahun belakangan ini, saya setuju bahwa RM yang bagus dan bermanfaat tidak harus mahal, tidak harus jutaan, tidak harus tergantung pada operator, tapi cukup BETUL-BETUL 'users friendly' saja. Bukan begitu dok?

    @mbak Titah, saya setuju jurus NGOTOT JAYA itu memang perlu. Terutama dalam menghadapi keadaan sebagaimana yang pernah mbak Titah alami (dan sedang saya alami). Tapi seperti potret yang mbak Titah gambarkan sendiri, kendati kita tidak boleh menjeneralisasi bahwa semua dokter begitu, tapi tokh tetap saja pak dokter yang satu ini juga sambat; " ... mosok ilmuku selama 35 tahun kuliah dan praktek mau kamu serap habis?" Lha? Ini ekspresi dari 'common' state of mind, 'general' mind set, atau apa ya?

    @Bude Kris, mumpung bude masih perduli, masih aktif, malah 'gregetan' mirsani keadaan yang dekat-dekat ke arah fenomenal ini, barangkali ada baiknya kalau sisi kurikulum FK-UI dan FK-UGM 'disisipi' juga mata kuliah 'nguwongke pasien' ya de? Biar tidak bertambah banyak pasien - dan keluarga dekatnya :-) yang justru tambah bingung dan strss setiap kali harus berkomunikasi secara serius dengan dokternya seperti yang sempat dipikirkan oleh mbak Titah. Hehehe ....

    BalasHapus
  11. Tahun 1984 di Banda Aceh, saya mendapat pasien wanita 30an tahun dengan nyeri di kaki bila berjalan. Masih gres, baru setahun menjadi ahli bedah, segera saya lakukan foto ronsen dan terlihat taji di tiulang kaki. Penyakit ini lazim disebut calcaneal spur.
    Pasien melihat foto itu dan bertanya, “Bagaimana mengobatinya Dok?”
    Saya jawab, “Operasi Bu.”
    “Bagaimana caranya?”
    “Pakai pahat Bu.”
    Malamnya saya ditelpon rumah sakit yang mengatakan bahwa pasien ini dirawat di ICU karena stress mendengar kakinya akan dipahat. Malamnya rumah saya di teror dengan raungan sepeda motor. Besok pagi di koran setempat terpampang headline “Seorang ahli bedah akan memahat kaki Ibu Anu dan bla bla”

    Dilema.
    Disatu pihak saya harus menghormati hak pasien (Kode Etik kedokteran Indonesia – Kodeki pasal 7c 2002). Di lain pihak saya harus memelihara kesehatan (Kodeki pasal 16). Jadi? Jawaban yang sahih baru saya ketahui ditahun 1990. Dalam buku karangan Veronica yang berjudul Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter halama 94 tertulis: … ada empat kelompok pasien yang tidak perlu mendapat informasi yaitu: 1. pasien yang menjalani pengobatan dengan placebo; 2. pasien yang dirugikan jika mendengar informasi tsb; 3. pasien yang sakit jiwa; dan 4. pasien yang belum dewasa.

    Zona hitam putih adalah kelompok 1, 3 dan 4, sedangkan abu-abu, kelompok 2. Kelompok satu adalah mereka yang sedang diteliti dalam suatu penelitian (tentu mereka sudah menandatangai persetujuan tertulis) obat. Sekelompok orang diberikan obat yang akan diteliti dan sebagian obat palsu (placebo). Nah jika dikatakan dengan sebenarnya tentu penelitian manfaat obat itu tidak ada gunanya.

    Kelompok 3 dan 4 juga sangat jelas.

    Zona abu-abu adalah kelompok 2. yang dirugikan jika mendengar informasi. Ia abu-abu karena tergantung atas penilaian subjektif dokter, yang memutuskan apakah akan memberi semua informasi atau sebagian ataupun tidak. Hal ini sesuai dengan prinsip Kodeki yang tertulis dalam mukadimahnya yaitu non maleficence, primum non nocere, first do no harm atau tidak mencelakakan.

    Penilaian subjektif ini sangat tergantung atas komunikasi yang sehat antara dokter dan pasien. Bagi saya sungguh sulit memberikan informasi kepada pasien yang mengatakan, “Terserah mana yang baiklah Dok.” Maka speak up atau jurus Ngotot Jaya dari Mbak Titah adalah suatu keharusan dalam berobat.

    BalasHapus
  12. The bottom line is KOMUNIKASI kan dok? Hubungan kasual yang seharusnya SEHAT antara dokter dan pasien. Sedangkan menyangkut halaman 94 buku bu Veronika tentang Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter dan subjektifitas seorang dokter dalam mene...ntukan perlu tidaknya 'berkomunikasi' dengan pasien menyangkut keluhan atau penyakit yang dideritanya, saya kira beberapa contoh yang ditulis Pak Hans di sini tentunya menarik untuk disimak dan direnungkan oleh semua pihak, baik pasien - dan keluarga dekatnya :-) paramedis, atau para dokter sendiri. Itu, kalau saya tidak keliru ya dok?
    Salam.

    BalasHapus
  13. Teori memang banyak Bang. Dilapangan berbeda. Dokter yang berpraktek sangat sadar akan kemungkinan adanya damage di setiap tindakannya. Namun memang menakar apa yang perlu dan tidak perlu diberitahukan membutuhkan pengetahuan akan pasien yang hanya dapat diperoleh dari komunikasi. Bagaimanapun kata orang dahulu dalam laut dapat diduga dalam hati siapa tahu.

    BalasHapus
  14. Dalam dok. Dalam.
    Terima kasih sekali lagi dok.

    BalasHapus