Kini, setelah peristiwa Soempah Pemoeda melewati usia lebih dari delapan dasawarsa, pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Masihkah guratan historis yang tersirat dari balik peristiwa heroik tersebut membekas dan mengakar dalam nurani bangsa kita? Masih adakah rasa cinta dan bangga bertanah air, berbangsa, dan berbahasa Indonesia? Kalau mau jujur, dengan nada sedih kita harus mengatakan bahwa semangat yang tersirat di balik ikrar Sumpah Pemuda itu kini makin memudar.
Bagaimana tidak kalau sesama bangsa saja suka cakar-cakaran, saling menista, dan saling menaburkan kebencian hanya karena masalah-masalah primordial yang ditafsirkan secara sempit? Bagaimana pula kita bisa bilang kalau kita masih cinta dan bangga berbangsa Indonesia kalau kita tak berkutik ketika harga diri bangsa diinjak-injak di negeri orang? Masihkah kita mengaku menjunjung tinggi bahasa Indonesia kalau dalam peristiwa tutur sehari-hari kita justru merasa lebih terpelajar dan terhormat dengan menggunakan setumpuk istilah asing?
Para pendahulu negeri yang dulu mengikrarkan Sumpah Pemuda bisa jadi akan meratap sendu dan menangis ketika menyaksikan situasi Indonesia masa kini yang makin jauh bergeser dari “khittah” perjuangannya. Lihat saja betapa para penguasa terlalu sibuk “tabur pesona” dan membangun citra untuk meraih simpati politik hingga melupakan amanat untuk menyejahterakan rakyat! Saksikan juga kiprah kaum elite kita yang (nyaris) kehilangan kepekaan terhadap nasib sesamanya yang makin terpuruk dalam kubangan kemiskinan dan kebodohan! Cermati juga para penegak hukum kita yang tak berdaya ketika diseret ke atas panggung drama oleh para bromocorah dan mafia hukum dalam sebuah persekongkolan busuk!
Dari sisi mana pun agaknya Indonesia masa kini (nyaris) tak sanggup menampilkan potret yang jelas dan tegas. Integritas kebangsaan dan sikap kenegarawanan kaum elite kita, diakui atau tidak, telah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat. Kaum politisi kita yang seharusnya bisa menjadi “pionir” kerakyatan justru makin tenggelam ke dalam kubangan permainan politik yang tidak beretika. Para pejabat kita juga (nyaris) kehilangan sikap wisdom, kearifan, dan keteladanan dalam mengelola negara. Sungguh tak berlebihan kalau atmosfer semacam itu menimbulkan imbas sosial yang luar biasa secara horisontal di kalangan akar rumput. Masyarakat jadi gampang marah dan kalap seperti onggokan rumput kering yang mudah terbakar oleh percikan api.
Banyaknya rakyat kecil yang menjadi “korban” lemahnya penegakan hukum membuat masyarakat makin tenggelam ke dalam perilaku anomali dan kekerasan. Nilai-nilai primordial sempit makin menguat dan menggeser nilai-nilai nasionalisme yang seharusnya terus dipupuk dan dikembangsuburkan. Maka, yang kemudian terjadi adalah kian merajalelanya perilaku anarkhis, bar-bar, vandalistis, dan berbagai aksi kekerasan yang tak jarang berujung jatuhnya korban tak berdosa. Ironisnya, pemerintah terkesan melakukan pembiaran terhadap berbagai bentuk pembiadaban yang menimpa rakyat yang nyata-nyata menodai nilai keharmonisan, kedamaian, dan kerukunan hidup.
Tak hanya persoalan dalam negeri yang carut-marut, diplomasi kita pun dikenal amat lemah dan memiliki posisi tawar yang rendah. Martabat dan harga diri bangsa terkesan makin tak bernilai ketika bangsa kita tak berdaya menghadapi sentimen negeri jiran yang tak pernah berhenti melakukan provokasi dan agitasi. Keutuhan wilayah negara kesatuan yang seharusnya menjadi “harga mati” justru dipertaruhkan melalui aktivitas diplomasi yang serba lemah dan tidak tegas.
Dalam situasi seperti itu, kaum muda yang selalu tampil di garda depan pada setiap perubahan, harus lebih optimal dalam menyuarakan nilai-nilai Sumpah Pemuda yang kini ditengarai sudah mulai kehilangan kesakralannya. Di tengah situasi krisis keteladanan yang menggejala di setiap lapis dan lini kehidupan, memang bukan hal yang mudah untuk merevitalisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda secara riil. Meski demikian, bangsa kita pernah memiliki sosok kaum muda pendobrak pada zamannya yang sanggup melakukan perubahan drastis di tengah suasana represif yang terus dilakukan secara masif oleh pemerintah kolonial. Sosok semacam Soegondo Djojopoespito, R.M. Djoko Marsaid, Mohammad Jamin, Amir Sjarifuddin, dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya bisa dijadikan sebagai tokoh imajiner sekaligus tokoh inspiratif untuk terus merevitalisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda di tengah kondisi peradaban yang sedang “sakit”.
Jangan sampai terjadi, legitimasi terhadap bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia yang sudah terpahat di atas prasasti kebangsaan akhirnya harus luntur dan kabur akibat sikap abai dan masa bodoh. Kini saatnya, “khittah” perjuangan para pendahulu negeri ini kita revitalisasi dan kita bumikan secara terus-menerus dan simultan dari generasi ke generasi. Tujuannya? Agar bangsa kita yang besar ini tetap memiliki spirit dan etos kebangsaan untuk memaknai bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia sebagai “harga mati” yang tak boleh digadaikan dengan alasan dan motif apa pun. ***
[Dari Mas Sawali Tuhusetya]
Lihat juga: Sedikit Tjatetan Tentang SOEMPAH PEMOEDA
1 Komentar
bravo pemuda indonesia, semoga predikat bg aktor perubahan tdk semakin luntur walaupun tantangannya mkin berat dan kompleks.
BalasHapus