Seharusnya Kau Malu!

"Seharusnya kau malu!" Kalimat itu sekali lagi terlintas di benak saya seakan menegur diri sendiri ketika untuk ke sekian kalinya berpapasan lagi dengan ibu tua itu.

Kali ini memang hari sudah lewat sedikit dari jam 15:00 siang, saat kebanyakan orang kantoran sudah mulai bersiap-siap untuk pulang kerja. Sementara saya sendiri, yang bukan orang kantoran, sudah lebih dulu berjalan pulang dengan pikiran nyaris kosong menyusuri gang kecil yang menghubungkan jalan raya dan perkampungan lama di mana saya dan ibu tua itu tinggal.

Tubuh saya terasa sangat letih, sedangkan pikiran saya jauh lebih letih lagi setelah beberapa hari terakhir ini dipaksa bekerja ekstra keras untuk mencari tambahan biaya sekolah anak-anak menghadapi pergantian tahun ajaran dan melunasi kontrakan rumah yang sudah sembilan hari lewat jatuh tempo.

Rasanya saya sudah melakukan semua yang saya mampu, namun hasilnya hampir tidak ada. Sehingga berkali-kali sempat terfikir oleh saya untuk meminta bantuan dari satu dua orang teman yang menurut saya kehidupannya lebih baik dari saya. Atau, bisa jadi pada akhirnya saya akan terkapar keletihan di rumah, dan putus asa!

Tapi berpapasan dengan ibu tua tadi membuat saya jadi duduk termangu-mangu sendiri di meja makan. Saat hampir semua orang pulang dari seharian mencari nafkah, ia justru baru saja keluar rumah dengan menggendong 5 atau 6 ikat sapu lidi yang nampak jelas baru dibuat, dan saya yakin akan dijajakannya di satu tempat, pasar, mungkin.

Saya pikir, berapa lama waktu dan tenaga tuanya yang hampir renta itu dihabiskan untuk membuat sapu-sapu tadi, dan berapa sih uang yang akan diperolehnya dari hasil menjual sapu-sapu itu? Saya hampir yakin tentunya tidak akan lebih dari 20 ribu rupiah. Jumlah yang bagi rata-rata orang kota hampir tak berarti apa-apa. Tapi nampaknya tidak demikian bagi ibu tua ini.

Ia yang saya dengar menjanda - ditinggal mati suami - sejak belasan tahun lalu hidup sendiri di gubugnya yang sangat sederhana. Dikenal taat beribadah dan tidak banyak bicara, apalagi menyusahkan tetangga. Di gubug itu ia melakukan segala sesuatu seorang diri, termasuk menafkahi hidupnya dengan jalan membuat sapu-sapu lidi tadi misalnya. Itu dilakukannya dengan memunguti pelepah kelapa yang jatuh sendiri dari beberapa batang kelapa yang tumbuh di belakang gubugnya.

Saya tidak tahu apakah ia mempunyai anak-anak yang mungkin tinggal di tempat lain atau tidak. Tapi melihat ia berjalan kaki sambil menggendong sendiri sapu-sapu lidi yang dibuatnya itu ke pasar yang jaraknya tidak kurang dari 3-4 KM dari tempatnya tinggal membuat saya berfikir, seharusnya ini dilakukan oleh anak-anaknya, atau cucunya. Sebab tentu saja ini sangat berat bagi seorang ibu setua dia. Tapi saya tidak melihat sedikitpun kesusahan tecermin di wajahnya yang bening. Sebaliknya, saya menangkap isyarat bahwa ia menjalani semua ini sebagai kewajaran yang memang mesti dilakukannya agar dapat tetap bertahan hidup layaknya orang lain. Ia melakukan semua itu tanpa banyak bicara, atau mengeluh, apalagi sampai meminta belas kasihan orang lain. Padahal di usianya itu sudah selayaknya ia mendapatkan kehidupan yang nyaman dalam perlindungan anak-anak dan melewatkan hari-hari tuanya penuh kegembiraan dikelilingi oleh cucu-cucu tercinta.

Sungguh, saya tidak tahu apa yang selama ini mungkin diam-diam dipikirkan, atau diyakininya sebagai pelajaran dalam memaknai kehidupan ini. Tapi tadi, berpapasan lagi dengan ibu tua ini, benar-benar membuat saya merasa malu pada diri sendiri!


Bang Nonki,
Bandung, Medio Mei 2010 [SISI LAIN YANG TERLUPAKAN]


Posting Komentar

1 Komentar

  1. seringkali saya tidak bersyukur dan banyak mengeluh dengan apa yang sudah saya punya dan dapatkan dan selalu merasa kurang. cerita ini seakan "menampar" dan seolah memaksa saya untuk melihat cermin sembari memikirkan kembali apa yang sudah saya lakukan dan saya syukuri? terima kasih telah memberikan satu pelajaran hidup yang sarat makna ini.

    BalasHapus