Rindu Pak Harto?


Di tengah pro-kontra rencana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi almarhum mantan Presiden Soeharto, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional di Jakarta, Jumat, 22 Oktober 2010. Jajak pendapat yang digelar lembaga yang dipimpin Dr. Saiful Mujani ini mengungkap persepsi publik terhadap penguasa Orde Baru ini.

LSI menggelar serangkaian survei sejak 1999 sampai tahun ini--yang terakhir pada 7-20 Oktober 2010 kemarin. Survei-survei itu dilakukan berdasarkan sampel saintifik yang jumlahnya bervariasi antara 1.200 sampai 2.500 orang yang tersebar di 33 provinsi, dengan marjin eror bervariasi antara kl. 2 hingga 3 persen.

Survei antara lain menanyakan, “Seberapa demokratis pemerintahan di bawah Presiden Suharto dulu?” Skor dibuat dalam rentang 1 (sama sekali tidak demokratis) hingga 10 (sangat demokratis) dengan nilai mean 4,68 (tidak demokratis).

Hasilnya, kata Direktur Eksekutif LSI Dr. Kuskridho Ambardi, “Rakyat menilai bahwa rezim Soeharto tidak demokratis, dan karena itu rezim tersebut tak dinginkan rakyat.” Studi ini juga mendapati mayoritas responden menginginkan Indonesia menjadi negeri yang semakin demokratis.

Selain itu, menurut survei LSI di tahun 1999, publik juga menilai ada lebih banyak hal negatif di sektor politik era Soeharto, ketimbang yang positif. Satu tahun setelah reformasi bergulir, hanya 0,1 persen responden yang menilai positif rezim Soeharto. Sementara itu yang menyatakan positif terhadap pemerintahan hasil Pemilu 1999 mencapai 33 persen. Publik pun menilai sangat negatif tiga faktor di zaman Orde Baru: pemilu (86 persen), kebebasan berpartai (79 persen), dan kebebasan bicara (75 persen).

Lantas bagaimana dengan putra-putri Soeharto?
Melalui survei Oktober 2010, LSI menyusuri prospek Tommy Soeharto, putra bungsu Soeharto, untuk menjadi pemimpin Indonesia di masa mendatang. Bersama 27 tokoh lain, nama Tommy ditanyakan kepada pemilih: jika pemilu digelar hari ini, siapa yang akan mereka pilih?

Ternyata, yang menyatakan akan mencontreng namanya hanya 0,8 persen saja. Toh demikian, Tommy cukup dikenal masyarakat Indonesia. Sekitar 72 persen responden menyatakan 'tahu' figurnya.

"Tapi, rakyat yang aware pada umumnya tidak menyukai Tommy," kata doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, AS, itu. Dari survei, didapati 47 persen menyatakan 'tidak suka' dan 41 persen 'suka' terhadap figur Tommy.

Survei juga mendapati bahwa pandangan mayoritas masyarakat pada sosok anak bungsu Soeharto ini lebih banyak negatifnya. Dari survei terungkap, yang menjawab 'ramah' 20 persen, 'berwibawa' 9 persen, dan 'tegas' 5 persen. Sementara itu, mereka yang menyatakan 'tidak peduli pada orang lain' 15 persen, 'tidak bisa dipercaya' 38 persen, 'tidak mampu memimpin' 39 persen, dan 'tidak bersih dari masalah korupsi' 43 persen.

"Sikap masyarakat seperti ini tidak pernah terjadi pada tokoh nasional lain," begitu LSI menyimpulkan. “Walapun tidak dipilih, rakyat Indonesia umumnya tidak bersikap negatif terhadap tokoh-tokoh nasional masa sekarang.”

Kecenderungan serupa juga terlihat pada performa Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Partai yang didirikan pada 2002 silam oleh mantan KSAD Jenderal TNI (purn) R. Hartono ini, menjagokan putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, sebagai calon presiden dan secara terbuka mengusung keberhasilan Soeharto sebagai materi kampanye mereka. Hasilnya, pada Pemilu 2004 dan 2009 lalu, PKPB hanya berhasil meraih sangat sedikit suara, masing-masing 2,1 dan 1,4 persen saja.

"Dua pemilu terakhir menunjukkan gagasan menghidupkan kembali ruh Soeharto dan Orde Baru ditolak rakyat," Dodi menyimpulkan.

Ora Pathek'en
Hasil survei LSI dirilis hanya sehari setelah peringatan 1.000 hari wafatnya Soeharto, Kamis malam lalu. Puluhan ribu orang menghadiri serangkaian acara tahlilan yang digelar di Masjid At Tien, Taman Mini Indonesia Indah; tempat kelahiran Pak Harto di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta; Ndalem Kalitan di Solo; Monumen Jaten, Karanganyar; dan kompleks pemakaman keluarga Soeharto, Astana Giribangun, Karanganyar.

Di Ndalem Kalitan, Solo, ribuan tamu undangan dan warga datang menyemut dari berbagai daerah. Mereka mengikuti tahlilan dengan khusyuk, meski harus berdiri atau duduk beralaskan kertas koran. Kursi yang disediakan panitia tak mampu menampung tamu yang datang membludak.

Dalam kesempatan ini, adik Soeharto, Probosutedjo, memberi sambutan. Ia menceritakan riwayat hidup mantan orang nomor satu di Indonesia itu--mulai remaja, jadi tentara, menjadi kepala negara, hingga detik-detik ketika ajal menjemputnya.

Rangkaian prosesi ditutup dengan pelepasan burung merpati, diiringi gending Jawa, oleh Probosutedjo dan putri bungsu Soeharto, Siti Hutami Endang Hadiningsih atau yang biasa disapa Mamiek Soeharto, yang mengenakan kebaya Jawa lengkap. Dalam tradisi Jawa, prosesi ini melambangkan kerelaan untuk melepas kepergian orang yang dicintai.

Menanggapi pro-kontra pemberian gelar pahlawan nasional untuk mendiang ayahnya itu, Mamiek mengaku tak ambil pusing.

“Bagi kami, Bapak merupakan pahlawan. Mau dikasih gelar atau tidak dikasih gelar, yang penting Bapak adalah pahlawan di keluarga. Jadi kami tidak akan ambil pusing. Pokoknya terserah pemerintah, deh,” kata Mamiek seusai mengikuti acara tahlilan di Ndalem Kalitan. “Bagi kami, tidak mendapat gelar juga ora pateken (tidak ada masalah). Kami tidak mengusulkan, tetapi semuanya akan terlihat, becik ketitik olo ketoro (suatu hari yang bagus akan terlihat, yang jelek akan terungkap).”

Seperti telah diberitakan, mantan Presiden Soeharto dinyatakan lolos seleksi calon Pahlawan Nasional di Kementerian Sosial. Selain Soeharto yang diusulkan masyarakat Jawa Tengah, juga ada nama mantan Gubernur DKI Ali Sadikin yang diusulkan dari Jawa Barat, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari Jawa Timur, Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johanes Leimena dari Maluku, Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, dan Pakubuwono X yang juga diusulkan dari Jawa Tengah. (Laporan: Fajar Sodiq, Solo | kd)


• VIVAnews

Posting Komentar

0 Komentar