Meja Makan


“BOA!” seru seorang lelaki yang berdiri beberapa meter di muka pintu sumur, tempat mandi umum di kampung ini. Lelaki itu bertubuh kerempeng, bertelanjang dada dan hanya melilitkan sarung kumal sebatas pinggang. Ia minta ‘boa’ atau pemberitahuan tentang jenis kelamin apa yang sedang mandi di dalam.

“Baoa!” lelaki lain menjawab dari dalam. Itu artinya laki-laki. Tanpa ragu lagi lelaki kerempeng itu lantas mendorong pintu dan masuk untuk bergabung mandi bersama. Lain halnya kalau jawaban dari dalam adalah ‘borua’, ia harus menunggu di luar.

Si Anggota menyaksikan itu dari jendela rumah besar keluarganya. Aturan main di sumur itu ternyata masih tetap berlaku, mungkin sudah ratusan tahun turun temurun. Tak jelas entah siapa yang mula-mula menciptakan aturan itu untuk tempat-tempat mandi umum di daerah sini. Bukan hanya di sumur, di pancuran pun begitu. Sebelum masuk, setiap orang harus menyerukan ‘boa’ terlebih dahulu untuk memastikan jenis apa yang sedang mandi di dalam. Baoa berarti laki-laki dan borua berarti perempuan.

Dulu Si Anggota juga mandi di sumur umum itu, bertelanjang bulat ramai-ramai. Seperti halnya lelaki kampong, ia juga punya sarung kumal yang seringkali mempunyai tiga fungsi. Siang hari dipakai untuk menutup aurat karena celananya belum kering dicuci, malam hari untuk selimut menahan dingin yang amat menusuk dan pagi hari berfungsi sebagai handuk.

Sekarang si Anggota tak memerlukan lagi sumur itu. Ia sudah membangun kamar mandi dan kakus di dalam rumah khusus keluarganya sendiri. Ia juga tidak butuh sarung kumal sebab sudah bisa beli berlusin-lusin handuk, bahkan pabriknya sekalian - jika perlu.

Tentang kakus, dulu kampung ini tak punya. Pernah Si Anggota sempatkan mampir pulang kampung seusai meninjau beberapa proyek di kabupaten. Beberapa kawan sekerjanya ikut pula mampir dan menginap semalam. Tetapi, mana kakus untuk membuang ‘hajat besar’? Bahkan Triono - kawannya yang orang Jawa berolok-olok : Mana kamar ‘mauliate’-nya?

Tak ada kakus, kecuali sungai kecil yang mengalir di batas kampung. Ke sana pun harus selalu membawa tongkat bambu untuk mengusir babi piaraan yang sering nekat menyeruduk karena tak sabar menunggu.

“Begitulah kalian, termasuk kau,” kata Triono ketika itu bergurau. “- kalian yang sudah sukses di Jakarta tak mau membangun kampung sendiri. Bangku sekolah yang reot yang pernah mengantarkan kalian sampai berhasil di tempat lain, tak juga ditengok-tengok. Akibatnya, kamar ‘mauliate’ pun tak ada.”

“Kata orang proyek kemarin, kalian cuma kirim uang untuk membangun kuburan,” kata seorang lainnya tertawa. “–atau kirim jenazah anak-anak kampung yang meninggal di perantauan.”

Memang cuma bergurau, tapi malu hati juga Si Anggota mendengar itu. Segera ia keluarkan uangnya dan untuk membangun kamar mandi dan kakus di rumah besar keluarganya, ditambah satu kakus lagi di dekat sumur umum. Sekarang kakus umum itu sudah reot. Pintunya hampir lepas dan tak bisa lagi dikunci dari dalam. Sehingga orang yang buang hajat harus bersiul keras-keras atau bernyanyi agar kedengaran bahwa di dalam ada orang. Jika tidak, ia bisa terjungkal diseruduk orang kebelet yang menerobos masuk.

Kampung itu memang tak banyak berubah sejak puluhan tahun yang lalu. Regenerasi tak sampai mengubah struktur ekonomi masyarakatnya, kebiasaan penduduknya, kemiskinannya, bahkan juga tradisi kepemilikan sarung yang berfungsi tiga itu. Pohon kecapi di samping sumur itu pun masih tegak berdiri, kendati daunnya yang kering semakin sering mengotori sumur. Dahannya di sana-sini banyak yang meranggas. Sedang di atas perbukitan yang mengitari kampung ini tampak berderet kuburan tembok yang bagus-bagus dengan sentuhan arsitektur modern. Seperti kata Triono beberapa tahun lalu, kuburan itulah hasil kiriman dari anak-anak perantauan.

Hampir pukul sepuluh, dua orang anak lelaki Si Anggota pulang dari kebun, menenteng senapan angin dan beberapa ekor burung mati. Tiba-tiba muncul kerinduan untuk mandi bersama anak-anaknya untuk mandi di sumur itu.

“Ayuh, Vini ! Vidi !” Si Anggota memanggil kedua anak itu. “Kalian ikut Papa mandi di sumur!”

“Di situ? Ramai-ramai !?” seru kedua anak itu menolak sambil membelalakkan matanya.

“Bah, Papa juga dulu begitu. Ayuh!”

“Papa, ‘kan anak kampung? Kita lain dong, Pap!” kedua anak itu tertawa sambil lari ke belakang dapur.

Si Anggota ikut tertawa. Anak-anak itu benar. Kendati sekarang sudah jadi orang penting, di Jakarta, Si Anggota tetap saja anak kampung. Berbeda dengan Vini dan Vidi, kedua anaknya yang lahir dan besar di Jakarta.

Sesungguhnya ia bernama Binsar. Tapi orang lebih suka menyebutnya Si Anggota, karena ia pernah terpilih menjadi anggota DPR. Lebih dari itu, nama Si Anggota telah menjadi terlanjur menjadi figur sentral sampai ke kampung-kampung sekitarnya. Segala sesuatu di situ selalu dikaitkan dengan nama Si Anggota. Kampung itu sebenarnya bernama Lumban Bagasan, tetapi terkenal menjadi kampung Si Anggota. Kebun dan sawah milik keluarga besar disebut menjadi milik keluarga Si Anggota, rumah Si Anggota, tetangga Si Anggota, kerbau saudara Si Anggota, tambak Si Anggota, keponakan Si Anggota, dan lain semacam itu. Pendeknya, nama Ompu Pinondang - orang tua Si Anggota yang dulu cukup kondang karena ahli soal adat, kini sudah kalah pamor dengan si Anggota.

Kali ini dua minggu Si Anggota telah berada di kampungnya. Ia bikin pesta tujuh hari tujuh malam untuk upacara mangongkal holi, yaitu upacara adat menggali kambali tulang-belulang leluhurnya dan memindahkannya ke kuburan baru. Si Anggota sudah bangun kuburan tembok bertingkat yang bentuknya seperti gereja, berdiri paling megah di puncak bukit yang pemandangannya paling indah pula.

Kuburan itu dilengkapi dengan teras dan seperangkat kursi-meja beton. Agaknya Si Anggota berpikir arwah orangtuanya akan duduk bersenang-senang di situ sambil memandang ke arah lembah; ke arah Danau Toba yang terhampar biru. Puluhan juta rupiah dikeluarkan Si Anggota untuk semua itu, belum termasuk biaya pestanya.

Rumah induk yang sudah tua itu tetap dipertahankan sebagai rumah keluarga besar. Di ruang tengah terdapat sebuah meja besar yang sudah menghitam saking tuanya. Usai makan malam – tiga hari sesudah pesta mangokkal holi itu, seluruh anggota keluarga hadir di sekeliling meja. Sedemikian besarnya meja itu sehingga cukup 12 kursi.

“Aku serius. Aku hanya minta meja makan ini,” tukas Si Anggota memecahkan keheningan. “Lainnya aku tak perlu.” Tak ada yang menjawab. Ama Ni Hinsa – abang sulung Si Anggota serta empat orang adiknya yang lain, saling berpandangan. Begitu pula sanak keluarga lain yang hadir di situ. Hilda Sriningsih – isteri Si Anggota yang asli perempuan Jogya itu pun gelisah, menatap Ama Ni Hinsa seperti ingin berkata sesuatu.

“Sudahlah, Ito,” Mastiur akhirnya bicara, adik perempuan paling bungsu. “Meja ini sudah jelek sekali. Sudah kurang pantas untuk orang Jakarta. Eda Hilda sendiri belum tentu suka.”
“Ah, jangan bilang begitulah, Eda,” balas Hilda terperangah. “Aku pasti senang kalau bisa mendapatkan ini. Antik ‘kan? Apalagi meja ini dibikin oleh Amang, nilai sejarahnya tentu tak bisa diganti dengan meja sebagus apa pun.”

“Itu benar.” Si Anggota menimpali kata-kata isterinya. “Dahulu, setiap makan malam kita dikumpulkan Amang seperti ini. Di atas meja inilah Amang mengajar kita berdoa, mengajar kita tentang makna kehidupan, tentang ora et labora - etos berdoa dan bekerja. Nah, aku ingin mendidik anak-anakku dengan meja ini pula.”

“Begini, Anggia,” tukas si sulung Ama Ni Hinsa perlahan. “Bukan aku ingin memiliki sendiri meja ini. Kau tentu ingat, meja ini dibuat oleh tangan Amang sendiri. Berbulan-bulan Amang mengerjakannya. Mulai dari menebang pohon nangka di kebun, membelah-belah dan menyerut hingga meja ini jadi. Maksudku, Anggia, kalau meja ini tetap di rumah ini, akan tetap menjadi milik kita semua. Milik bersama.”

“Tapi hanya meja ini yang aku perlukan, Abang Aku tidak minta yang lainnya. Hasil sawah, kebun dan lainnya – kalian ambillah semuanya,” sergah Si Anggota. “Rasanya Amang juga tenang di kuburannya jika tahu aku yang memakai meja ini di Jakarta.”

“Tapi kami juga memerlukannya, Ito,” selak Mastiur.

“Nanti aku ganti dengan meja baru.”

“Tidak sama, kami juga memerlukan meja buatan Amang ini untuk menjadi symbol kebersamaan bagi kami yang tinggal di kampung ini. Bukan begitu, Ito?” tukas Ama Ni Hinsa mendukung Mastiur.

“Kalian tak bisa merawat meja ini,” tambah Si Anggota mulai gusar. Digosokkannya kedua tangannya di atas meja, lalu berkata: “Lihatlah, meja ini hitam dan kotor. Nanti di Jakarta aku sendiri yang akan merawatnya dengan tanganku ini. Bentuk dan warnanya tak kuubah. Ini janjiku, Abang. Aku hanya akan membersihkannya, memolesnya supaya kembali berkilat.”

Ama Ni Hinsa kembali terbungkam. Matanya menatap berkeliling, minta adik-adiknya yang lain bicara. Tapi semua membisu, membuat suasana semakin jengah. Semua tahu keinginan Si Anggota sulit ditampik.

“Yah, kalau bukan meja ini, apalagi yang bisa kudapat dari peninggalan Amang? Padahal meja ini serasa melekat dengan batin…dan …bah, bukankah aku sudah banyak …?” suara Si Anggota tergagap lalu terhenti sama sekali. Ia tiba-tiba sadar kata-katanya itu bisa membuat suasana jadi tak enak. Namun, sudah terlambat. Saudara-saudaranya sudah bisa menangkap arah kata-katanya itu, bahwa Si Anggota mulai mengungkit-ungkit pengorbanannya untuk keluarga ini. Terlebih untuk kuburan megah dan pesta besar kemarin.

“Aku mengerti maksudmu, Anggia,” kata Ama Ni Hinsa mencoba lebih arif, sekaligus untuk menenangkan adik-adiknya yang lain. “Kau memang tidak pernah meminta bagian dari hasil sawah Amang selama ini. Tetapi jangan keliru, Hasian. Jangan katakan kau tidak dapat apa-apa dari Amang. “ Si Anggota gelisah. Baginya, wibawa abang tertua ini masih terlalu kukuh untuk disanggah.

“Adikku, justru kaulah yang mendapatkan pasu-pasu berlimpah-ruah dari Amang dan Inang,” lanjut Ama ni Hinsa. “Doa mereka yang membuat kau bisa seperti sekarang. Doa kami juga. Kau sudah jadi orang terdepan di republik ini. Kau sudah jadi anggota DPR dan namamu berkibar di mana-mana. Sedang kami saudara-saudaramu ini? Kami tetap jadi paragat tuak, Anggia. Cuma jadi tukang kayu … seperti Amang kita.” Si Anggota terkejut mendengarnya.

“Jadi, apa yang kamu berikan untuk menghormati Amang, itu wajar,” Ama Ni Jonggi ikut bicara, salah seorang dari adik Si Anggota. “Sangat wajar untuk menghormati orangtua dari seorang anggota DPR yang kemudian sukses menjadi pengusaha. Jangankan pesta tujuh hari, pesta sebulan pun pantas. Tetapi, Bang, untuk paragat tuak seperti aku ini, pesta sehari pun belum perlu. Tak akan ada yang mengejek aku jika tak membuat pesta dan kuburan baru ini. Jadi, Bang, janganlah bandingkan pengorbananmu dengan sumbangan kami yang memang tak seberapa untuk pesta kemarin.” Si Anggota makin gusar.

“Tahukah kau, Abang?” Ama Ni Ucok nimbrung, adik Si Anggota juga. “Orang-orang tidak menyebut pesta itu sebagai pestaku, tidak juga pesta Ama Ni Hinsa, pesta Ama Ni Sordang, atau pesta si Mastiur…! Orang menyebut itu pesta Si Anggota. Ini pestamu, Abang. Jadi sangat wajar kau yang banyak menanggung biayanya. Kau yang dapat sangap, kau yang dapat gabe.”

Si Anggota semakin terperangah dikeroyok seperti itu. Ia ingin menjelaskan, namun Mastiur menyelak lagi. “Sudahlah, Bang. Meja ini terlalu berat dibawa ke Jakarta.”

“Tidak apa-apa, Ito. Nanti dari Jakarta akan kukirim tukang kayu kemari. Aku kenal beberapa ahlinya di Klender. Mereka akan membongkar meja ini dan memasangnya kembali di Jakarta tanpa cacat sedikitpun,” Si Anggota tak bergeming hingga saudara-saudaranya geleng kepala. Mereka maklum bahwa Si Anggota adalah seorang politikus yang sudah terbiasa menggunakan segala cara untuk memenuhi segala keinginannya. Tak akan mundur sebelum mendapatkannya.

Memang Si Anggota tidak main-main. Seminggu setelah tiba di Jakarta, segera ia kirimkan truk besar berikut tiga orang tukang kayu dari Klender. Beberapa juta rupiah uangnya keluar lagi untuk itu. Ia tak peduli. Ia inginkan meja makan itu untuk memuaskan hatinya, obsesinya dan impiannya.

Tetapi ketika truk itu kembali di Jakarta, mereka tidak membawa apa-apa. Hanya ada sepucuk surat saja dari Ama Ni Hinsa. Abangnya yang tertua itu meminta pengertian Si Anggota, bahwa meja itu tak bisa diberikannya. Rupa-rupanya sehari setelah Si Anggota pulang ke Jakarta, meja makan itu diangkat ramai-ramai ke gereja. Beberapa tukang kayu bekas anak buah Amang di kampung telah membongkar meja itu dan menjadikannya langgatan, yaitu mimbar tempat pendeta berkhotbah setiap hari minggu.

“Amang memang mengajar kita bersama-sama di meja itu, Anggia,” kata Ama Ni Hinsa lewat suratnya. “Sayang, hanya kau yang berhasil maju dan keluar dari kemiskinan keluarga kita. Sedang kami tetap menjadi Paragat tuak. Tetapi sekarang kami mengharap agar lewat meja yang sudah diubah menjadi langgatan di gereja itu, akan lebih banyak lagi orang yang dididik dan diajar untuk berhasil seperti kau. Hasian…!”

Si Anggota menghenyakkan tubuhnya ke kursi. Surat itu disobek-sobeknya hingga jadi serpihan kecil lalu dibuangnya bertebaran di lantai. Ia marah. Ia merasa tak dihargai, tak dihormati, ia menangis.

“Sudahlah, Pap,” Hilda membujuk suaminya itu dengan suara serak dan mata berkaca-kaca. “Kita tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka sudah melakukan yang terbaik. Meja itu memang membawa berkat, tapi agaknya kita tidak boleh memonopoli berkat itu untuk kita sendiri. Banyak orang lain yang membutuhkan; orang sekampung, orang gereja…!”

Lama Hilda berusaha hingga akhirnya Si Anggota mau juga mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan suaminya itu mulai memahami bahwa hidup ini tidak untuk dimiliki sendiri. Ama ni Hinsa betul, biarlah lebih banyak lagi orang yang dibimbing hingga sukses lewat mimbar gereja yang semula adalah meja makan itu. Si Anggota masih menangis, namun tidak lagi marah-marah.

Hilda tersenyum di belakangnya. Lega. Segumpal uang yang dijejalkannya ke tangan Ama Ni Hinsa ketika pamit pulang ke Jakarta, membuat segalanya beres. Ia tak mau bertengkar dengan suaminya. Tetapi ia lebih tak rela meja tua hitam, kasar, kotor dan jelek itu diangkut kemari dan menggusur meja besar ukiran Bali dari ruang makannya yang mewah. ***





CATATAN:
mauliate: terima kasih
anggia: panggilan untuk adik
ito: sebutan kepada saudara lain jenis kelamin
eda: sebutan antar perempuan yang beripar
amang/inang: ayah/ibu
hasian: sayang, yang dikasihi
pasu-pasu: berkat
paragat tuak: penyadap tuak dari pohon enau
sangap: kehormatan, kharisma
gabe: kekayaan dan kebahagiaan
langgatan: mimbar di gereja
Ama ni Hinsa: gelar panggilan bagi laki-laki yang punya anak sulung bernama Hinsa,
isterinya diberikan gelar Nai Hinsa. Sama halnya dengan Ama Ni 
Jonggi, Ama Ni Ucok. Gelar ini digunakan karena tidak etis
menyebut nama kecil seorang Batak yang sudah menikah.

Pondok Kelapa, 09091990

Posting Komentar

0 Komentar