Presiden Idol


INGAT acara Indonesian Idol sebuah stasiun TV swasta, ingat pemilihan presiden kita sekarang ini. Selain keberanekaragaman peminatnya, cara audisi dan eliminasi nominasinya pun enak ditonton. Kocak, seru, dan menggelitik pula.

Kita menyaksikan di Indonesian Idol beraneka perangai dan sifat manusia berambisi. Ada yang lugu, polos, arogan, nekat, serta tingkah polah dan tampang-tampang bagaimana di hadapan juri kemartabatan seseorang bisa menjadi begitu rendah, sudi dinistakan sekadar supaya bisa lolos terpilih. Namun, apa pun eloknya keputusan juri, toh yang akhirnya memutuskan mayoritas SMS para pemirsa juga.

Analog dengan itu proses pencalonan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) kita. Siapa saja, tanpa ada ketentuan perlu mawas menakar kemampuan, alih-alih tahu diri, boleh-boleh saja nekat seperti calon peserta Indonesian Idol, asal lulus SLTA, sehat jasmani rohani, dianggap pantas berani mati mencalonkan diri sebagai capres, atau merasa tersanjung dipilih jadi cawapres.

Bedanya dengan Indonesian Idol yang disortir oleh dewan juri, capres-cawapres dijagokan partai. Juri lomba nyanyi tentu bisa lebih obyektif menilai sebab jelas standarnya. Menakar kompetensi dan kapabilitas capres eligible apa standarnya. Maka jangan salahkan partai kalau memilih jagoannya selain dengan kalkulasi politik, pakai feeling juga. Seperti selera pemirsa Indonesian Idol itu, boleh jadi capres-cawapres jagoan partai belum tentu bersesuaian dengan mayoritas aspirasi rakyat pemilih.

Kita mendengar suara pengamat politik kian hiruk-pikuk. Opini dan survei politik dianggap bisa bertindak sebagai juri penilai capres-cawapres. Dari mulut pengamat politik isi perut dan isi kepala para capres-cawapres kian telanjang di mata rakyat. Survei politik membuka mata rakyat mungkin membaca kedunguan, kepalsuan, kedustaan, ketamakan, arogansi, selain kehebatan serta nilai kepantasan para capres maupun pasangannya.

Namun tak ubahnya peran juri Indonesian Idol, setajam apa pun pisau bedah para pengamat politik terhadap pasangan capres- cawapres, pilihan akhir tetap di tangan mayoritas rakyat pemilih. Di luar pemirsa pemilih Indonesian Idol yang memahami musik ada lebih banyak pemirsa tak mengerti musik dan memilih dengan selera, emosi, dan kata hati. Tampilan fisik di mata pemirsa pengirim SMS Indonesian Idol bisa saja mengecoh keunggulan kualitas menyanyi. Rasa-rasanya bakal seperti itu kira-kira pemilu presiden kita.

Kondisi rakyat kita yang punya hak pilih pun lebih banyak yang tak baca koran dan buta politik. Boleh jadi seperti pemirsa yang tak mengerti musik, rakyat, yang tak tersentuh informasi politik, tak memahami arti rekam jejak (track-record) para capres-cawapres, yang bakal menjadi pemilih dengan hati. Yang memilih dengan mengandalkan rasa nurani juga seperti kebanyakan pengirim SMS Indonesian Idol.

TENTU menjadi kerisauan tim sukses dan mesin politik partai tiap pasangan capres-cawapres memutar otak bagaimana sebanyak mungkin rakyat yang punya hak pilih bisa digeser keberpihakan selera memilihnya. Di sini loyalitas partai, loyalitas kelompok diuji sekaligus dipertaruhkan. Sebuah survei politik menunjukkan tak sedikit pengurus, anggota, simpatisan partai sendiri yang lompat pagar membelot menetapkan pilihan capres-cawapresnya.

Cara berkampanye mempresentasikan platform, program, visi-misi lalu menjadi kurang berarti kalau semakin banyak rakyat pemilih yang sudah tidak percaya lagi pada janji politik. Pada tingkat ini mestinya politik uang sudah lumpuh. Uang tidak lagi berkuasa ketika rakyat lebih percaya pada kata hatinya sendiri, dan saatnya mesin kampanye perlu disetel ulang agar lebih menyentuh hati.

Secara psikologis konon gincu politik sudah membuat rakyat jemu. Obral kecap politik pun sudah bikin rakyat kapok. Barangkali kebersahajaan dan kejujuran capres-cawapres yang diperkirakan masih bisa bikin rakyat tersentuh.

Untuk perpolitikan kita yang sudah bisa menunjuk langsung siapa calon presiden dan wakilnya, kita teringat fenomena William Hung, seorang peserta American Idol yang tereliminasi, tetapi kasetnya menggebrak dan mendapat simpati lebih banyak pemirsa lantaran kebersahajaan dan kejujurannya. Katanya, "Aku menyanyi dengan hati, menyanyi untuk hati...."

Untuk kejujurannya itu William Hung kendati tak lolos penilaian juri, tetapi tanpa dinyana menjadi lebih populer dari peserta yang tidak tereliminasi.

KITA bertanya, apakah fenomena unpredictable seperti itu akan terjadi juga pada pasangan capres-cawapres yang tampil sebersahaja-sejujur William Hung, anak muda yang tampil menyanyi apa adanya, tanpa gincu, polesan, basa-basi, apalagi bersandiwara. Bakal seperti itukah juga nasib capres-cawapres yang berpolitik dengan hati.

Naga-naganya manakala rakyat sudah bosan bersandiwara, mereka muak melihat di panggung politik para calon pemimpin bangsa masih bersandiwara. Di atas kertas suara partai boleh besar, mesin politik boleh berkekuatan seribu tenaga kuda, dan tim sukses boleh barisan orang brilian. Namun, jangan kelewat berharap kalau hati mayoritas rakyat pemilih berkata lain.

Kenyataan hati rakyat berkata lain yang menurut pengamat politik dianggap sebagai kecelakaan politik. Peristiwa politik yang katanya sukar diantisipasi melihat begitu besar jumlah massa mengambang kita yang tidak bisa ditebak hatinya.

Suka tidak suka kondisi pemilu presiden nanti diperkirakan bakal seperti Indonesian Idol. Peserta yang dijagokan juri, capres-cawapres yang secara ilmu politik unggul, belum tentu yang bakal menjadi pemenangnya. Bisa saja muncul fenomena William Hung.

Buat rakyat banyak yang hampir tercebur ke laut, bukankah tak ada yang lebih tulus untuk menyelamatkan bangsa selain sosok pemimpin yang di balik encernya isi kepala menyimpan pula perangai bersahaja dan jujur. Persona purba yang kita pelajari dari orang- orang kebanyakan yang sudah banyak makan asam garam dari panjang berkeloknya sekolah kehidupan.


KOMPAS | 12-06-04 | Opini | oleh dr. Handrawan Nadesul

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Ditulis oleh Pak Hans tahun 2004. Eh, koq ya, masih relevans juga ya?

    BalasHapus
  2. He he Terima kasih sudah mengingatkan lagi ungkapan saya yang dulu.
    Salam
    Hans

    BalasHapus
  3. Mungkin saya hanya bermimpi atau berkhayal jauh tinggi mengambang tentang seorang "Ahmadinejad" menjadi presiden RI.
    Entahlah...

    Paling tidak untuk bisa bermimpi dan bisa berhayal sudah menjadi pengobat jiwa yah.

    BalasHapus