Boru Hepeng!

Bolos? Mangkir ramai-ramai dari kelas biologi lalu naik ke bukit ‘dolok-dolok’ untuk sembunyi belajar merokok? Ada yang punya uang untuk beli rokok? 

Bah! Ini tawaran tidak mungkin dilewatkan. Bisik-bisik merebak. Secarik kertas beredar antar meja di kelas segera bersambut. Bukan hanya anak laki, juga perempuan. Semua setuju membolos ramai-ramai dan tanggung resiko ramai-ramai, demi belajar merokok.

Anak perempuan memang tidak merokok, tapi mereka solider. Selain ikut bercanda, bisa memetik buah ungu karimunting liar sambil menikmati pemandangan ke Danau Toba di bawah sana. Pulangnya nanti lidah mereka akan ungu.

Siang menjelang jam pelajaran ke-empat, kosonglah kelas kami. Burjono anak pemilik pompa bensin itu jadi cukong beli dua bungkus rokok Union, paling murah ketika itu. 

Horeee! Selamat datang kebebasan merokok! Keluar dari pintu belakang Kantin si Buttu semua merokok bebas, mengepulkan asap dengan kebebasan setara kegembiraan serdadu Romawi usai mempecundangi jajahannya.

Di kotaku ini merokok bagi anak sekolah adalah dosa besar. Jangan sampai ketahuan orang tua. Jangan sampai ada kenalan orang tua yang melihat kita merokok, celaka besar kalau sampai dilaporkan. Bukan sekedar takut dimarahi, tetapi kehilangan kepercayaan orang tua adalah kehilangan segala-galanya. Sebaliknya, salah satu cara menghargai orang tua adalah tidak merokok di depan mereka. Tradisi ini tetap kupertahankan sampai puluhan tahun kemudian. Bahkan sampai aku sudah menikah dan punya anak.

Setengah bukit lewat sudah. Sejenak istirahat di bawah pinus berdaun langsing dengan nafas terengah. He he he, sekarang waktunya merokok lagi. Si Martua ribut. Si Nelson apalagi. Astaga! Siapa yang punya korek api? Tidak ada. Mana ada anak sekolah yang berani mengantungi korek api? Itu identik dengan perokok berat. Orang tuanya bisa mengamuk. Lalu siapa yang terakhir merokok tadi? Hayo, cepat lari, turun dan cari di mana puntung rokoknya tadi. Siapa tahu masih menyala.

Tentu saja sia-sia. Kami tahu benar bahwa puntung rokok di bukit bersemak ini harus diinjak sampai apinya benar-benar mati. Semua orang tidak ingin bukit ini terbakar. 

Akhirnya pesta rokok gagal. Untuk apa lelah diteruskan naik ke ‘dolok-dolok’ yang begitu tinggi kalau tak bisa merokok? Turun sajalah. Bubar sambil menggerutu saling menyalahkan.

Kenangan ini membuatku tersenyum sendiri. Puluhan tahun lalu aku dan teman-teman sekomplotan adalah bagian dari kota ini. Nyaris tidak ada jalan di kota ini yang belum pernah kami lewati dan nyanyi ramai-ramai menjelang tengah malam. Nyaris tak ada anjing malam yang tak menggonggong kami buat. Tentu saja sambil belajar merokok. Belajar tentang kebebasan. Tentang kedewasaan. Rein Tobing yang bisa mainkan gitar itu entah di mana sekarang.

Kutatap keluar jendela, lepas ke arah sebuah rumah kayu, rumah panggung yang sudah tua dan kusam menghadap ke Danau Toba. Itu rumah si Rein dulu. Bergeser ke seberang jalan, masih ada jembatan kayu yang dulu kami gunakan duduk-duduk sambil mengganggu gadis-gadis remaja ‘parkacuccak’ – yang biasanya tidak bersekolah lagi lalu memilih menjadi buruh tenun. 

“ .... sai tu dia ho marhuta, weee si dongan magodang ...!” tiba-tiba saja ingat lagu ini dan rinduku seketika menyengat. Sudut mataku basah. Ke mana kalian merantau dan berserak, hai, teman sepermainanku? 

“Hai, Lae, marangan-angan saja?” seseorang ramah tiba-tiba duduk di hadapanku. Rupanya sejak tadi ia lihat aku melamun.

“Bah, iya, oh, nggak, Lae. Lagi menunggu kawan,” kataku sekenanya saja.

“Kalau iseng, Lae, masih ada empat lagi, tuh, pilih saja.”

“Maksudnya?” aku kurang cepat menangkap maksudnya.

“Biasa, na masa-masai.”

Bah, amang oiiii !! Benar juga kata si Idris dari Medan. Kotaku ini sudah rusak serusak-rusaknya. Di sini aku ditawari perempuan lacur! Di tempat kelahiranku sendiri. Di pinggiran Danau Toba tempat kami belajar berenang dan kubangga-banggakan ke seantero dunia! Cafe apa ini?

Tadinya aku pikir dia menawarkan solu atau perahu. Ah, ini rupanya yang digelisahkan si Jurnal dan Margomgom lewat facebook-nya. Dahulu kotaku ini hanya dipimpin Pak Camat. Bahkan aku masih bisa membayangkan bulat kepala Pak Sirait Asisten Wedana yang sering jadi wasit sepak bola di Lapangan Singamangaraja itu. Tenang dan religius. Sekarang ada Bupati, ada Kepala Dinas, ada DPRD. Apa kerjanya? Kucoba menahan diri, menahan badai yang sejadi-jadinya mengamuk dalam dadaku.

“Di mana?” tanyaku.Lelaki ramah di depanku ini berteriak. Tahu-tahu empat orang gadis menor sudah muncul di depanku. Mencoba bersenyum-senyum dengan gincu mencolok di bibirnya. Ah, gincu, bedak atau apa pun namanya tidak akan bisa menyembunyikan prototip wajahnya dari daerah asalnya. Oh, Debata na Bolon! Tuhan Sang Khalik! Aku harus bilang apa kepada orang-orang ini? 

“Boru aha ma hamu, Ito?” aku bertanya dan aku tahu itu pertanyaan awal yang standar. Jika bertemu dengan sesama orang Batak, selalu lebih dahulu tanyakan marganya.

“Ndang, Ito, boru hepeng do hami!” seseorang menjawab tanpa beban, lainnya tersenyum bersetuju.

“Haahhh! Boru hepeng?”

“Hehehe ....!” keempat perempuan ini tertawa. Salah seorang sambil menggesekkan jempol dengan telunjuknya. Uang! Hepeng! Terdengar serupa jutaan petir diacu tepat ke ulu hatiku. Boru ‘duit’? Boru ‘uang’? Untung ada HP, henpon! Benda ajaib ini sangat menolong saat salah tingkah, mati angin, mati gaya!

“Sebentar, ya,” kataku sambil merogoh HP dari saku jaketku. “Ada telepon masuk!” Mereka tersenyum genit menunggu. Si laki-laki germo menyeringai. Mereka tahu aku dari Jakarta, mangsa baru.

“Ya, ya, saya sudah di sini! Masa’ nggak tahu jalannya? Ya, sudah, tunggu saja di situ, aku jemput!” aku pura-pura, berteriak-teriak sendiri di depan HP sambil bergegas ke arah mobil. Buka pintu, masuk dan segera tancap gas tanpa menoleh lagi ke belakang! Asu! Bangsat! Kubuka jendela lebar-lebar dan meludah sekerasnya. Puih! 

Aku baru tahu ada ‘boru hepeng’. Ke mana gereja? Ke mana pemuka adat? Ke mana Bupati, DPRD? Bukankah ini berarti hasrat mesum marga apa pun akan mereka layani asalkan ada ‘hepeng’? Tak perduli itu ‘ito, amang, tulang’ atau hantu belau sekali pun! 

Bah! Panas di dadaku. Tapi mau bikin apa? Kupacu mobil sewaanku pulang ke rumah adikku, kuambil tasku, pamit buru-buru lalu kembali ke Medan. Mau cari tiket saja ke Jakarta pada kesempatan pertama.

“Maksiat! Kota ini bukan milikku lagi!” teriakku selepas keluar di pinggir kota. Kupasang kaset Viktor Hutabarat yang memang sengaja aku beli di Medan untuk melengkapi perjalanan nostalgisku. Kutemukan lagu yang aku suka.

Manungkun marga ma ahu, Ito, ai boru aha do dainang da Jolo sinungkun marga, asa binoto, Ito, da partuturan da Molo na mariboto do, ndang sala marsipangkulingan da molo na marpariban do - ndang pola sala hita marsigoitan da. (terlebih dahulu aku tanya margamu, Ito, jika kita bersaudara semarga, tidak salah saling menyapa Jika kita berjodoh ’marpariban’, tidak salah kita saling bercanda) 

Dengan lirih kucoba bernyanyi. Tapi amarahku meledak! Lagu ini tak ada artinya lagi di sini!! Buru-buru kukeluarkan kaset itu dari sarangnya lalu sekuat emosiku kulemparkan ke luar jendela, menyeruak masuk ke sawah pinggir jalan. Aku berteriak sebisaku: “Aku kecewa. Kecewaaaa!!!!!”


Usai percakapan dengan Idris
di celah Workshop Penulis
Taman Budaya Medan








Posting Komentar

0 Komentar