Tidak Bisa Tidak Korupsi, Pak Presiden!


KALAU ditanya mengapa orang korupsi, jawaban jujurnya pasti tak sama. Ada yang menjawab terpaksa korupsi buat beli nasi. Yang lain bercita-cita korupsi agar hidup bisa lebih seksi punya duit berpeti-peti. Mengingat kausanya berbeda, obatnya tentu tidak boleh sama. Sama vitalnya dengan memilih obat antikorupsi, Deng Xiao Ping dulu bilang, agar korupsi tidak menjamur, perlu ada sistem. Dengan sistem, orang jahat divaksinasi agar menjadi baik, dan orang baik tetap baik.

Tanpa sistem, orang baik bisa menjadi jahat. Maka, supaya penyakit korupsi tidak kambuh, selain yang sudah sakit diobati, yang belum kena harus divaksinasi. Ihwal vaksinasi korupsi, kita masih setengah hati.

Barang tentu tak semua yang dapurnya tak selalu berasap memilih berkorupsi. Namun, dibandingkan yang korupsi buat kecentilan hidup, kelompok yang korupsi buat beli nasi pada kita masih lebih banyak. Diukur dengan apa saja, dua-duanya jelas bersalah.

Mengobati kelompok yang terpaksa korupsi, selama tidak menambah kemampuan membeli nasi, gigi hukum saja tak cukup menjadi obat. Kalau korupsi sudah jadi andalan hidup, tingkat kenekatan orang sudah naik ke otak. Wajar jika penjahat kambuhan mengaku lebih suka memilih masuk penjara karena hidup di luar semakin susah.

LEE Kuan Yew, pendiri Singapura, baru-baru ini bilang, "Jangan percaya bahwa Singapura tak menghadapi masalah korupsi." Padahal, Singapura relatif bersih dan gaji guru sekolah sudah mencapai 4.000 dollar Singapura atau hampir Rp 25 juta. Barangkali dalam kaitan kebijakan "vaksinasi korupsi", Singapura berencana menaikkan gaji menteri dan pejabat negara hingga 80 persen dari gaji eksekutif swastanya.

Pada kita, gaji pegawai negeri eselon IV (golongan ruang III) belum tentu cukup untuk makan. Kalau jujur, gaji eselon I, bahkan setingkat menteri pun, bila cuma mengandalkan gaji boro-boro bisa hidup mewah. Jadi tak perlu ditanya lagi dari mana jika tak sedikit eselon I punya rumah dan mobil mewah. Jangan pula ditanya keajaiban dari mana pula bila pegawai negeri golongan I puluhan tahun masih bertahan hidup jika bukan dari ngobyek serabutan (korupsi waktu), cari proyek, ikut panitia pengadaan barang, menguangkan kertas, tinta di kantor, atau apa saja.

Mengapa cara tak elok yang dipilih? Karena kesempatan untuk itu masih ada dan sistem kita (waskat: pengawasan melekat, salah satunya) tak punya kaki. Harus diakui, tidak semua pegawai negeri sejujur Umar Bakrie, setulus Pak guru Mamad.

GEBRAKAN "8 Langkah" Presiden beberapa waktu lalu bertekad menyapu korupsi bisa jadi membuat kempat-kempot hati koruptor kakap dan para pejabat teras yang telanjur punya hobi centil seperti itu. Namun belum tentu bakal begitu nyali mereka yang buat berobat saja tak ada uang tersisa lantaran sudah habis buat makan.

Bagi begitu banyak koruptor teri, gebrakan serbu korupsi boleh terus menggonggong, tetapi kepulan asap dapur bukankah harus terus berlalu. Selama sistem di kantor belum galak dan lubang buat serong masih menganga, korupsi rutin kecil-kecilan, berani bertaruh, seperti angin, pasti masih akan bablas terus.

Bukankah Kwik Kian Gie pernah usul, sebagai sebuah racikan puyer, obat korupsi perlu termasuk kebijakan menaikkan gaji pegawai negeri juga, sambil jangan lupa memberi catatan, bahwa hukum korupsi harus sudah bisa menggigit. Kini Presiden sudah tunggang langgang, sayang yang lain masih melenggang.

Jika ditilik dari perspektif psikopolitik korupsi gagasan Kwik laik diterima, memang harus tidak boleh ada alasan kocek pemerintah belum tebal. Mengapa? Karena pilihan itu merupakan harga obat yang harus dibayar agar wabah korupsi kelas teri bisa total sembuh dan tak kambuh lagi. Sementara niat mengencangkan ikat pinggang, usulan menyingsetkan struktur pegawai negeri pun prioritas yang perlu dipertimbangkan.

Terus terang dibandingkan dengan gaji pegawai swasta, pegawai negeri kita betul dibayar kecil. Anekdot bilang, itu sepadan dengan kinerjanya yang datang kesiangan pulang kepagian. Bukankah kinerja satu pegawai swasta setara dengan keroyokan, katakanlah melawan lima pegawai negeri.

Kalau betul begitu, bukannya efisien kita membelanjakan buat lebih banyak pegawai meski dengan struktur gaji alit, bila dengan lebih sedikit pegawai yang diberi gaji memadai tetapi menelurkan kinerja lebih besar. Filipina baru-baru ini bergegas mengetatkan ikat pinggang efisiensi jam kantor yang pada kita masih molor kedodoran.

MENJEWER koruptor teri dinilai tak tepat pakai tangan besi sebab gaji saja benar tak cukup. Tidak demikian bagi koruptor bukan kelas kambing yang kata orang bermuka badak, lantaran justru kepada mereka tangan besi yang bisa bikin mereka jera.

Melihat gelagat sudah menggebrak meja hukum pun koruptor kelas paus masih tak bergeming, tampaknya diperlukan superbody lain sebagai pendamping Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang seperti ini beberapa negara Amerika Latin pernah lakukan.

Naga-naganya Presiden sudah "geregetan" melihat yang lain menari lemah gemulai setel kendo, alih-alih bersemangat mambo atau cha-cha-cha seperti maunya rakyat. Orang- orang berharap triliunan rupiah uang yang dikemplang para koruptor buron bisa disetor buat menolong rakyat yang lagi megap-megap. Kata orang, kondisi korupsi kita sudah terindikasi kasus gawat darurat. Tak banyak waktu untuk menyelamatkan perekonomian kita yang sudah kronis puluhan tahun dirongrong penyakit, dibobol pembalakan hutan, pengemplangan utang bank, beragam penggelapan, dan pemborosan bukan alang kepalang kocek negara.

Seperti kata Deng Xiao Ping, pemerintah bukan cuma perlu memasang sistem, tetapi juga sistemnya harus punya kaki. Untuk itu perlu diberi ruang dalam hukum ketatanegaraan kita yang memungkinkan dibentuknya superbody lain sebagai sebuah "kamar ICU".

Seperti di beberapa negara yang rajin korup, "ICU" dimanajemeni langsung oleh presiden. Melihat gejala gemuruh ombak di mulut Presiden, tetapi sayang setiba di bawah tinggal riak kalau berhadapan dengan koruptor kelas mamut dan mastodon. Kini saatnya di panggung hukum, Presiden perlu meminjam palu.

Miris kita disindir tak tuntas-tuntas memberantas korupsi. Mungkin kita perlu menukar jaring lebih kuat dari pukat harimau untuk menjerat lebih banyak koruptor bukan saja kelas teri.




Dari catatan Dr. Handrawan Nadesul (2005)

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Rupanya, apa yang kita lihat (bukan rasakan) enam tahun dulu sudah tidak sama lagi dengan sekarang Dok. Sekarang ini rakyat kecil yang setengah mati tunggang langgang, namun para aparatur judikatif, eksekutif, dan legislatif yang justru melenggang.

    BalasHapus
  2. NICE BLOG :)

    Mampir ya, Like & Comment bila Berkenan terimakasih
    http://ayomelekhukum-brantaskorupsi.blogspot.com

    BalasHapus