Paket Wisata Kemiskinan Indonesia


Pernahkah anda ditawari sebuah paket wisata kemiskinan? Untuk menghabiskan masa liburan, anda diajak berkeliling menyusuri pinggiran rel sepanjang stasiun senen. Melihat tunawisma yang hidup di gubuk dari kardus dan gubuk darurat lainnya. Kemudian dilanjutkan menyusuri perkampungan kumuh pinggiran Sungai Ciliwung di Kampung Melayu. Terus ke arah Galur, Luar Batang dan berakhir perjalanan turnya di kawasan Kota. Saya tak pernah membayangkan jika paket wisata ini ada. Tapi membaca Koran Kompas [Minggu, 31/5/09], membuyarkan bayangan saya tadi.

Wisatawan Australia berwisata di pinggir rel Stasiun Senen
Paket wisata yang menawarkan “obyek wisata” dan “atraksi” kemiskinan itu adalah Jakarta Hidden Area Tour. Paket wisata kemiskinan itu bertarif antara 65 dollar AS hingga 165 dollar AS dengan jumlah peserta maksimal 4 orang. Sasaran Jakarta Hidden Area Tour adalah orang asing terutama Belanda dan Australisa. Luar Biasa kan?

Seperti dituturkan oleh perancang paket wisata ini, awalnya karena memenuhi permintaan seniman luar negeri yang ingin berinteraksi dengan orang miskin di Jakarta. Ternyata permintaannya semakin bertambah. Dan sepertinya orang-orang “bule” itu begitu menikmati paket wisata itu. Berikut saya kutipkan dari Koran Kompas pernyataan salah satu wisatawan Australia yang mengikuti paket wisata itu;
“Ini tur yang sangat menarik. Biasanya orang asing hanya melihat mal dan hotel di Jakarta. Tapi saya bisa melihat kehidupan orang miskin di sini. Ini pertama kali saya melihat yang seperti ini.”
Saya tak percaya sekaligus prihatin. Rupanya kemiskinan pun dapat dijadikan semacam paket wisata yang cukup diminati oleh wisatawan mancanegara. Terlepas motif apa dibalik minat wisatawan itu terhadap paket wisata ini. Tetapi ini melengkapi kenyataan bahwa kemiskinan memiliki daya tarik dan laku dijual. Setelah partai politik dan politikus menjadikan kemiskinan seperti “barang dagangan”.Menurut data Bappenas, angka kemiskinan tahun 2009 meningkat menjadi 33,7 juta jiwa atau sekitar 14% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Ini tentu “dagangan” yang menggiurkan untuk menaikan perolehan suara. Maka ramai-ramai mengklaim menjadi parpol yang membela “wong cilik”, politisi yang peduli kaum miskin dan janji-janji seakan membela kepentingan orang miskin.

Kemudian kemiskinan juga menjadi “dagangan” dalam bentuk aneka jenis acara di televisi. Beberapa obyek tontonan televisi itu; Minta Tolong, Bedah Rumah, Uang Kaget, Dibayar Lunas, Tukar Nasib, Jika Aku Menjadi dan mungkin masih ada yang lainnya. Dulu saat pertama kali menyaksikan acara Minta Tolong, saya merasa terharu. Tersentuh. Bahkan sempat meneteskan airmata. Tapi kemudian bertanya dalam hati, apa etis? opo yo pantes?. Karena akhirnya tontonan itu tetap sekedar menjadi tontonan. Karena tak merubah nasib sebenarnya orang miskin tersebut, sementara yang mempunyai acara televisi “menikmati” iklan dari rating acara yang tinggi. Meskipun ada hal yang menarik yang terjadi dengan kawan saya. Sejak dia sering nonton acara sejenis, dia menjadi tak segan memberi sumbangan atau sodakoh kepada pengemis. Berharap pengemis itu bagian dari salah satu acara reality show. Duh!

Saya menyadari, meskipun sebagai “barang dagangan”, si miskin yang terlibat langsung mungkin dapat mengambil manfaatnya. Baik saat sebagai obyek wisata, “dagangan” politik atau obyek tontonan televisi. Mereka mungkin mendapatkan sumbangan, bantuan sembako, atau benda lainnya. Tapi semoga saja ada langkah lebih konkrit dalam mengurangi kemiskinan. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara, itulah bunyi dalam konstitusi kita. Bukan kemiskinan itu dipelihara agar tetap miskin dan dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek. Melainkan masyarakat miskin diurus dengan sebenarnya agar terbebas dari kungkungan kemiskinan.

Kembali lagi ke masalah paket wisata kemiskinan. Saya belum tahu apa tanggapan Pemerintah atau Pemerintah Daerah DKI Jakarta menyangkut masalah ini. Penggagas paket wisata ini melakukan tentu karena adanya permintaan pasar. Dan wisatawan mancanegara barangkali tertarik dengan kemiskinan yang mendera warga pinggiran ini. Jika mengesampingkan rasa malu dan etika, sepertinya paket wisata kemiskinan ini unik dan menarik. Tetapi sekali lagi, opo yo pantes?



Posting Komentar

0 Komentar