Soedirman Di Mata Soekarno Dan Soeharto

“IKUTLAH Bung Karno dengan saya”, kata seorang jenderal bertubuh kerempeng, yang berani membangunkan seorang Presiden dari tidurnya.

Sang presiden, atasan si jenderal, menolak ajakan jenderalnya untuk bangun dari tidur dan lari ke hutan bersama si jenderal. “Saya harus tinggal di sini!” Percakapan antara sang presiden dan si jenderal, terjadi pada hari naas, di pagi buta hanya beberapa jam sebelum ibukota negara jatuh ke tangan musuh.

Si jenderal punya alasan kuat mengajak bosnya, untuk berjuang bersama di hutan sana, bukan di kota, apalagi hanya ngendon di istana saja, yang sebentar bisa ditebak keadaannya. Si jenderal itu baru berusia 32 tahun, akhirnya 'ngambeg' dan lari ke hutan dengan membawa rasa dendam pada Belanda, juga rasa amarah pada Soekarno dan tokoh-tokoh sipil republik ini.

Soedirman, si jenderal itu, murka karena ternyata Soekarno dan kawan-kawan membiarkan diri ditangkap musuh. Baginya itu sebuah aib. Harga diri!

Hari itu Minggu pagi saat orang bersiap ke gereja, hari 18 Desember 1948, Jogjakarta ibukota negara jatuh ke tangan kekuasaan Belanda. Republik Indonesia yang baru berusia balita, untuk sementara hampir redup, tetapi bagi Soedirman tetap hidup.

KAKAK DAN ADIK
Dalam cerita relief perjalanan negeri ini, hubungan Soedirman dengan Soekarno terukir dengan harmonis, bahkan kelewat akrab hingga seperti hubungan romantik penuh gejolak konflik. Mereka berdua juga saling membutuhkan, saling menjaga, saling menyapa, bahkan kian senyawa. Keduanya tak mudah tunduk dan gampang menyerah untuk sebuah hal yang mereka tentang. Namun mereka kadang berlainan melihat sebuah masalah penting, seperti ajakan Soedirman bergerilya yang ditolak Soekarno.

“…kalau Belanda menyakiti Soekarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran”, ancam Soedirman di depan Soekarno di hari kelabu itu sebelum lari ke belantara hutan.

Kita semua tahu, Soekarno ternyata bukan hanya disakiti, tapi juga dipermalukan dan dihina. Dia dibuang jauh oleh Belanda ke tempat sunyi untuk beberapa bulan. Di hutan nan jauh di sana, sang jenderal teguh mewujudkan janjinya dengan gerilya susah payah menghancurkan Belanda, dengan satu paru-paru sambil ditandu keluar masuk hutan oleh anak buahnya yang setia selama tujuh bulan. Dan akhirnya keluar dari hutan sebagai pemenang.
Namun sayang ketika negeri ini mulai kuat berdiri, persahabatan antara kedua orang ini tidak berlangsung lama. Soedirman, tokoh yang dianggap banyak orang bagai laksana ksatria, tak mampu mengalahkan penyakitnya sendiri di hari 29 Januari 1950.
Setelah Soedirman wafat, Soekarno menempatkan sosok sahabatnya itu bagai sebuah ikon sejarah. Nama Soedirman (kadang ditulis Sudirman) diabadikan Soekarno dengan indah.

Hampir semua pusat kota di negeri ini bernama Jalan Sudirman. Di Jakarta saja, nama Soedirman telah bersenyawa dengan nama sebuah kawasan elite bisnis, mewah dan bergengsi. Bagai kakak beradik, usia mereka memang terpaut jauh dan membuat keduanya mudah memposisikan diri dalam jarak antar pribadi yang sangat dekat.

Soekarno menganggap dirinya kakak bagi Soedirman (Soekarno lebih tua 15 tahun). “Kanda do’akan kepada Tuhan, moga2 Dinda segera sembuh…”. tulis Soekarno dalam sebuah surat yang romantis sebulan sebelum Soedirman wafat. Ketika mereka bertemu sebelumnya di Istana Kepresidenan di Jogjakarta,

Soekarno memeluk dengan akrab dan mesra tubuh Soedirman yang letih dan kurus. Peristiwa pertemuan dua sahabat ini sangat monumental dan menjadi legenda dalam sejarah fotografi Indonesia. Dalam adegan pertemuan itu, Soekarno minta diulang adegan saat dia memeluk mesra Soedirman, sehingga para fotografer yang menyaksikannya, bisa mendapat momen yang tepat dari kamera.


IDOLA
Setiap orang di negera ini, seolah seperti ingin mendapat kebanggaan pernah dekat bersama Soedirman. Baik Soekarno maupun Soeharto, keduanya sama-sama mengaguminya. Di ruang kerjanya di Bina Graha, Soeharto memajang foto reproduksi berukuran besar, dengan cropping bergambar dirinya bersanding bersama Soedirman pada masa revolusi.

Begitupun dengan seorang tokoh di balik layar berdirinya negeri ini, seperti dr. Soeharto, dokter pribadi Presiden Soekarno. Sampai kini masih mengingat kenangan indah, bagaimana menjelang dekat kematiannya, Jenderal Soedirman mengirim kendil berisi gudeg khas Jogja kepadanya. “Terimalah seadanya sebagai oleh-oleh untuk Kanda”, tulis jenderal termuda dalam sejarah Indonesia kepada dr. Soeharto. Anak buah dan orang-orang dekat Soedirman yang tentunya sepaham dengan Soeharto, banyak dijadikan pejabat tinggi dan orang kepercayaan selama Soeharto menjadi presiden.

Dia pun memberi banyak perhatian kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan diri Soedirman. Menteri Dalam Negeri Soeparjo Roestam (1983-88) dan Gubernur Jakarta Tjokropranolo (1977-1982) adalah contoh dua orang dekat Soedirman yang berperan penting selama kekuasaan Soeharto.

Ketika membangun sebuah jalan baru yang besar dan lebar tahun 1962, untuk akses ke pinggiran kota menuju sebuah stadion baru termegah di dunia saat itu, Soekarno pun menamakan jalan tersebut dengan nama sahabatnya yang sangat dia cintai, Jalan Jenderal Soedirman.

Hingga kini jalan tersebut menjadi banking line terpanjang di Jakarta (bahkan di Indonesia), dengan bertebaran nama bangunan prestise mewah yang juga memakai namanya. Sebutlah Sudirman Mansion, Sudirman Plaza, Sudirman Park Apartement, Sudirman Residence, Citiwalk Sudirman, Wisma Sudirman, Sudirman Place, Menara Sudirman, Sudirman Central Business District, Aston Sudirman, Menara Sudirman atau Balai Sudirman.

Kenyataan tersebut sangat berbeda jauh dengan kepribadian Soedirman yang bersahaja dan sangat sederhana. Waktu saya mengunjungi sahabat saya di daerah Kejobong, Purbalingga, saya pernah mencoba mengunjungi daerah kelahirannya di pelosok pendalaman kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, namanya Rembang (bukan Rembang di pantai utara Jawa). Memang tak terlalu jauh dari Kejobong. Daerahnya sangat terpencil sekali mirip tempat Robinson Crusoe tinggal. Sepi dan sunyi.

Bila Anda dari Purwokerto menuju kota kelahiran Soedirman, pasti juga akan melewati sebuah pabrik gula di Kalibagor, Sokaraja (sudah tutup), yang pernah menjadi tempat mencari nafkah ayah kandung Soedirman.

TANDU SOEDIRMAN
Saya sulit membayangkan di tempat kelahiran itu, lahir seorang yang kemudian menjadi tokoh paling penting di negara ini. Saya juga pernah sedikit terganggu mendengar selentingan dari masyarakat sekitar sana tentang hubungan Soedirman dengan ibunya. Memang sejak umur 8 bulan Soedirman tidak lagi hidup bersama ibu kandungnya.

Untuk menggali mencari kebenaran perjalanan hidup Soedirman, sudah sulit mencari saksi hidup yang bisa bercerita dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Waktu masih di bangku terakhir SMP saya bersama teman-teman pernah menemui seorang kiai tua yang memiliki pesantren besar di Rawamangun sekitar Juli 1981, untuk tugas pelajaran keagamaan di sekolah. Pak kiai itu agak pendiam dan banyak memperhatikan kami. Namun dari mulutnya banyak keluar nasihat yang kadang “berat” buat kami dan sulit mengerti. Eh, ternyata beberapa minggu setelah itu, saya baru tahu dari sebuah majalah keagamaan terkenal, bahwa pak kiai itu bernama KH Muslich, yang juga kawan akrab Jenderal Soedirman. Dia ternyata juga adalah sumber yang dipercaya pihak militer berkaitan dengan riwayat Bapak TNI itu.

Setelah 60 tahun wafatnya pada Januari 1950, kita masih dapat menyaksikan betapa nama Soedirman terukir indah dalam sebuah persahabatan mesra dengan Soekarno. “Dan mohonkanlah djuga, supaya Kanda didalam djabatan baru ini selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan”, tertulis sebuah kalimat indah dalam surat untuknya dari Soekarno.

Melihat hubungan kedua orang ini, saya semakin sulit mencari contoh untuk masa sekarang. Di saat persahabatan dibangun atas dasar kepentingan sesaat. Persahabatan masa kini mirip seperti kertas tisu. (*)

[Dari Iwan Satyanegara Kamah]

Posting Komentar

5 Komentar

  1. Terima kasih tulisan ini dihargai.

    Salam
    IWAN SATYANEGARA KAMAH

    BalasHapus
  2. Sangat, sangat dihargai, Mas Iwan. Mohon maaf kulonuwunnya saya keburu didahului oleh monggonya panjenengan.

    Salam.

    BalasHapus
  3. Bang Nonki,

    Tidak perlu kulo nuwun kalau untuk kebaikan bersama.

    Salam.

    IWAN SATYANEGARA KAMAH

    BalasHapus
  4. Sekali lagi, maturnuwun sanget, mas Iwan.

    Saya pikir, rasanya masih (sangat) banyak komponen bangsa ini yang tidak mau belajar dari sejarah. Bukan begitu?

    Salam,
    Abang Nonki

    BalasHapus