Buku Membongkar Gurita Cikeas

Buku Membongkar Gurita Cikeas yang ditulis oleh George Junus Adijtondro telah menjadi perbincangan super hangat di masyarakat. Menurut beberapa sumber, Buku setebal 183 halaman ini salah satunya berisi pembahasan mengenai oligarki kekuasaan yang terbangun di seputar lingkaran kekuasaan SBY.

Kini buku tersebut menjadi incaran banyak orang yang ingin tahu seperti apa isinya, maklum buku Gurita Cikeas saat ini telah menghilang dari peredaran, hmm.. entah siapa yang menyuruh ditariknya kembali buku itu dari pasaran.

Dalam buku Membongkar Gurita Cikeas George menjelaskan, lingkaran kekuasaan yang dimaksud adalah tiga komponen penyokong kekuasaan SBY. Yakni para menteri atau pejabat, pengusaha, dan keluarga.
Tiga komponen ini, lanjut George, memiliki kontribusi besar dalam kemenangan SBY pada Pemilu 2009. Sedangkan skandal kasus Bank Century yang dipakai sebagai sub judul, hanya sebagai salah satu contoh kasus kecil pengguliran dana kampanye untuk SBY. Berikut adalah cuplikan resensi buku ini dari inilah.com:


CUPLIKAN HALAMAN 1
“Apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus,rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan….

Sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?”

Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air, setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit S Ryanto dan Chandra M Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.

Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya.

Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI.

Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI pra‐Pemilu 2009

CUPLIKAN HALAMAN 2
Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998.

Sebelum Bank Century diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar.

Keduanya sama‐sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: Haque, 2009; Inilah.com, 25 Febr 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).

BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS
Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas? Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48).

Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009).

Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita harus mengenal figur‐figur keluarga Sampoerna yang memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS, Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun.

Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963 bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947 (PDBI 1997: A‐789 – A‐796; Warta Ekonomi, 18‐31 Mei 2009: 43, 49).

Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara.

Misalnya, membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.‐3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1 April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52‐53, Ag. 2009: 100‐101)

CUPLIKAN HALAMAN 4
Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon.

Menurut sumber‐sumber penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta.

Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Explo. Boleh jadi, dwimingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai-maskapai migas dan alat‐alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral.

Secara tidak langsung, dwi‐mingguan Explo dapat dijadikan indikator, sikap Partai Demokrat – dan barangkali juga, Ketua Dewan Pembinanya – terhadap kebijakan‐kebijakan negara di bidang ESDM.

Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor Cholis,“PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16‐31 Oktober 2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi, September lalu dalam Explo, 1‐15 April 2009, hal. 79).

Pemimpin Umum harian Jurnas berturut‐turut dipegang oleh Asto Subroto (2006‐2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N Syamsuddin Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama SBY.

Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis.

Dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakartam 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap pemilik dan penanggungjawab.

Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya

Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Explo.

Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi presidennya yang pertama.

Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center.

Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi‐mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota‐anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR‐RI dari Fraksi Demokrat,

mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009)

CUPLIKAN HALAMAN 5 DAN 6
Kembali ke kelompok Jurnas dan hubungannya dengan Grup Sampoerna, di tahun 2008, Ting Ananta Setiawan mengundurkan diri darijabatan Pemimpin Perusahaan, yang kini dirangkap oleh Pemimpin Umum, N. Syamsuddin Haesy.

Namun nama Ananta Setiawan tetap tercantum sebagai Pemimpin Perusahaan, sebagai konsekuensi dari SIUP PT Media Nusa Perdana.

Mundurnya Ananta Setiawan secara de facto terjadi seiring dengan mengecilnya saham Sampoerna dalam perusahaan media itu, dan meningkatnya peranan Gatot Murdiantoro Suwondo sebagai pengawas keuangan perusahaan itu. Isteri Dirut BNI ini, dikabarkan masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono (McBeth 2007).

Berapa besar dana yang telah disuntikkan Grup Sampoerna ke kelompok Jurnas?

Menurut SIUP PT Media Nusa Perdana yang diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2007, nilai modal dan kekayaan bersih perusahaan itu sebesar Rp 3 milyar.

Namun jumlah itu, hanya cukup untuk sebulan menerbitkan harian Jurnal Nasional, yang biaya cetak, gaji, dan biaya‐biaya lainnya kurang lebih Rp 2 milyar sebulan. Berarti biaya penerbitan tahun pertama (2006), sekitar Rp 24 milyar. Tahun kedua (2007), turun menjadi sekitar Rp 20 milyar, setelah koran dan majalah‐majalah terbitan PT Media Nusa Perdana mulai menarik langganan dan iklan.

Tahun ketiga (2008), sekitar Rp 18 milyar, dan tahun keempat (2009) sekitar Rp 15 milyar. Berarti kelompok media cetak ini telah menyedot modal sekitar Rp 90 milyar, mengingat Jurnal Bogor menyewa kantor sendiri di Bogor, dan punya rencana untuk berdiri sendiri, dengan perusahaan penerbitan sendiri.

Selain biaya cetak yang tinggi untuk seluruh Grup Jurnas, pos gaji wartawan kelompok media ini tergolong cukup tinggi. Gaji pertama wartawan Jurnas tahun 2006 mencapai Rp 2,5 juta sebulan, tiga kali lipat gaji wartawan baru Jawa Pos Group.

Kecurigaan masyarakat bahwa keluarga Sampoerna tidak hanya menanam modal di kelompok media Jurnal Nasional, tapi juga di simpul-simpul kampanye Partai Demokrat yang lain, yang juga disalurkan lewat Bank Century, bukan tidak berdasar. Soalnya, Laporan Keuangan PT Bank Century Tbk Untuk Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal‐Tanggal 30 Juni 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa ada penarikan simpanan fihak ketiga sebesar Rp 5,7 trilyun.

Selain itu, Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Investigasi BPK atas Kasus PT Bank Century Tbk tertanggal 20 November 2009 menunjukkan bahwa Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik Boedi Sampoerna yang dipinjamkan atau digelapkan oleh Robert Tantular dan Dewi Tantular sebesar US$ 18 juta – atau sekitar Rp 150 milyar ‐‐ dengan dana yang berasal dari Penempatan Modal Sementara LPS
.


Download Buku ini (versi PDF) di sini

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Walau tidak (baca: belum) dilarang oleh Kejaksaan Agung, namun buku “Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century” sampai tulisan ini dibuat masih menghilang di pasaran. Dua jaringan toko buku terbesar di Indonesia, Gramedia dan Gunung Agung, belum mendisplay buku tersebut walau salah satunya - menurut orang dalam - sudah menerima buku tersebut namun hanya ditumpuk di gudang.

    Masih menurut orang dalam, buku-buku tersebut hanya dijual lewat “orang-orang khusus,” lewat jalur pribadi, iklannya bisa lewat email, grup jejaring sosial, atau sms. Hilangnya buku tersebut dari toko-toko diduga kuat karena ada intervensi dari kekuasaan.

    Walau secara resmi pihak kejaksaan, lembaga negara yang paling berwenang dalam urusan melarang atau menarik kembali sebuah buku di negeri ini, belum mengeluarkan sikap, namun di lapangan faktanya memang sulit sekali menemukan buku tersebut. Hal ini menimbulkan dugaan kuat jika tangan-tangan kekuasaan memang diam-diam tengah bermain dan berusaha keras untuk menghambat hak masyarakat untuk memperoleh informasi apa pun, yang sesungguhnya dijamin oleh piagam hak asasi manusia yang diratifikasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan semua negara anggotanya harus tunduk pada piagam tersebut.

    Namun para penguasa di negara ini mungkin sudah pikun, atau malah masih berpikiran di era perang dingin, jika mereka menganggap akan mampu membendung dan menahan akses informasi yang merugikannya ke tengah masyarakat. Para orangtua yang masih saja menduduki singgasana kekuasaan negeri ini, the ancient regime, agaknya lupa (atau memang sudah pikun) jika sekarang adalah era keterbukaan di mana tak ada satu pun informasi yang bisa dibendung, ditutup-tutupi, atau ditahan seperti dulu lagi. Masyarakat sekarang sudah memiliki banyak saluran untuk memperoleh dan menyebarkan informasi, salah satunya lewat dunia maya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika sumber-sumber resmi dan para penguasa di dunia nyata menghambat informasi yang diperlukan masyarakat, maka masyarakat akan menyalurkannya dan saling-berbagi di dunia maya, lewat berbagai situs berbagai, jejaring sosial, email, dan sebagainya. Para penguasa agaknya kelompok yang sulit untuk belajar dari pengalaman yang baru saja terjadi kemarin, dalam kasus buaya versus cicak, koin untuk prita, dan sebagainya, suara rakyat yang berasal dari nurani sekarang ini tidak bisa lagi dibendung dan ditutup-tutupi. Demikian pula dengan kasus menghilangnya buku yang ditulis George Junus Aditjondro sekarang ini dari pasaran.

      Jika toko buku bisa ditekan penguasa, maka dunia maya tidak akan bisa ditekan dan diintimidasi oleh mereka. Jika buku “Gurita Cikeas” tidak bisa dicari di toko buku resmi, maka di internet buku itu sudah bisa diunduh dalam file pdf. Salah satu situs yang menyediakan buku tersebut dan bisa diunduh secara gratis.

      Siapa pun bisa mengunduh buku tersebut yang total file-nya tidak besar, hanya 358 kb. Hanya saja, di dalam e-book tersebut tidak disertakan diagram dan foto-foto yang ada di dalam buku “Gurita Cikeas” yang nyata. Walau demikian, file tersebut bisalah dianggap sebagai “penawar rasa haus” sebelum buku yang sungguhan didapat.

      Hapus
    2. Masyarakat versus Penguasa
      Menghilangnya buku “Gurita Cikeas” dari toko-toko buku disesali banyak tokoh. Komnas HAM sendiri sempat melakukan inspeksi ke sejumlah toko buku di Jakarta (29/12) untuk mendapatkan bukti jika buku “Gurita Cikeas” tersebut memang sungguh-sungguh “menghilang”. Dalam peninjauan di lapangan, Komnas HAM menemukan bukti jika buku tersebut ternyata memang sangat sulit ditemukan. Kenyataan ini mengingatkan semua orang jika gaya pemerintahan sekarang ini tidak ada bedanya dengan masa rezim represif Orde Baru di bawah Jenderal Harto.

      Di penutup tahun masehi 2009 ini, buku “Gurita Cikeas” lah yang menjadi buku paling banyak dicari. The Most Wanted Book of the Year. Oleh banyak kalangan, hal itu bukan dipicu oleh isi dan bobot buku tersebut, melainkan karena sikap rezim penguasa yang amat sangat reaktif dalam menghadapi terbitnya buku yang sesungguhnya hanya menggunakan data-data sekunder khas milik Doktor George Junus Aditjondro.

      Ketua DPR RI Marzuki Alie yang berasal dari Partai Demokrat tanpa risih menyatakan jika pasal pencemaran nama baik yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perlu direvisi.
      “Pencemaran nama baik sumir sekali, orang memfitnah, masuk ke pencemaran nama baik,” ujar Marzuki Alie di Jakarta (28/12). Kilahnya, pasal pencemaran nama baik kurang memberikan rasa adil bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga perlu adanya revisi terhadap pasal tersebut. “Harus kita koreksilah UU, kita sempurnakan,” tambahnya.

      Pasal warisan kolonial Belanda untuk membungkam dan menghukum para pejuang kemerdekaan Indonesia ini memang sudah lama diusulkan agar dihilangan sama sekali atau direvisi, karena terbukti selama berabad-abad telah menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan status-quo dan memberangus suara-suara yang tidak sejalan dengan dirinya. Namun sangat beda dengan kelompok yang ingin merevisi pasal ini, atau bahkan menghilangkannya, Ketua DPR Marzuki Alie tanpa malu sedikit pun malah ingin agar pasal ini diperbaiki agar ancaman hukumannya diperberat lagi. “Mereka yang menuding tanpa dasar perlu diberikan sanksi yang leih berat, karenanya perlu dikoreksi pasal-pasal pencemaran nama baik. Kalau tidak, orang dengan seenaknya menuding,” katanya berapi-api.

      Hapus
    3. Sebelumnya, Partai Demokrat (PD) juga sudah menyerukan agar buku “Membongkar Gurita Cikeas”, ditarik dari peredaran dan dijadikan sebagai buku terlarang. Selain itu, PD juga menyerukan agar George Junus Aditjondro sebagai penulis buku tersebut juga diminta untuk diseret ke pengadilan dan dihukum. Sikap senada juga dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Menteri yang tanpa malu dan risih sedikit pun telah memakai mobil dinas baru yang super mewah, Toyota Crown Royal Saloon seharga Rp.1.325 miliar ditengah-tengah penderitaan rakyat Indonesia ini dalam berbagai kesempatan mengaku tengah menelusuri kemungkinan untuk melarang buku “Gurita Cikeas” dan melakukan langkah hukum terhadap penulisnya. Sikap yang juga sama ditunjukkan oleh Kejaksaan Agung dengan menyatakan akan melakukan penelitian lebih lanjut terkait buku kontroversial tersebut. Menurut Kejaksaan Agung, pihaknya baru akan menentukan sikap setelah melakukan penelitian tersebut, akan melarangnya atau membiarkan.

      Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dalam berbagai kesempatan selalu terlihat menahan diri untuk tidak terlalu kentara dalam menyikapi hal ini. Hanya saja, dalam beberapa pidato di hari-hari terakhir ini, presiden selalu saja mengeluarkan kata ‘fitnah’ yang oleh masyarakat diyakini jika hal itu terkait dengan kasus kontroversi buku “Gurita Cikeas” yang memang tengah jadi sorotan.

      Sikap pemerintah beserta para pungawa istana yang sangat reaktif ini justru menimbulkan kecurigaan di kalangan rakyat banyak. Rakyat memiliki logika berpikir yang sangat sederhana: “Jika buku itu memang tidak benar, tidak akurat, seharusnya pemerintah tidak perlu bersikap demikian reaktif bagai kebakaran jenggot. Jika pemerintah bersikap seperti itu, maka tentu buku tersebut memuat sejumlah data dan fakta yang sungguh-sungguh terjadi.” [Ridyasmara]

      Hapus