Mencecap Sensasi Kopi Termahal di Dunia


Mendengar kata "Kopi Luwak!" Maka ada dua hal yang langsung mengemuka di otak. Pertama, mahal! Kedua, menjijikkan. Bagaimana tidak? Bayangan bagaimana biji-biji kopi dimakan binatang bernama luwak (Paradoxurus hermaphroditus) kemudian, karena tak bisa dicerna dengan baik, biji kopi utuh keluar terbungkus kotoran. Olahan kopi itulah yang disajikan ke meja-meja coffee shop dengan harga selangit.

Tapi kenapa tak coba saja? Setidaknya itu menjadi pengalaman sekali seumur hidup. Malu, sebagai orang Indonesia, belum pernah merasakan kopi luwak, yang hanya ditemukan di Indonesia. Juga yang pernah disebut Oprah Winfrey dalam acaranya sebagai kopi termahal di dunia - dia menyebut satu pound.

Akhirnya tekad pun dibulatkan menuju kawasan Yogyakarta selatan, tepatnya ke CIVET di Jalan Prawirotaman. Sebuah kawasan yang penuh wisatawan mancanegara--layaknya Jalan Jaksa di Jakarta. Maklum, kopi ini memang tak bisa ditemukan di sembarang kafe.

Memasuki CIVET, suasana lengang. "Musim libur seperti Juli-Agustus baru ramai," kata Koswara Suma Amijaya, pemilik CIVET. Musim libur yang dia maksud adalah masa pelancong mancanegara berjalan-jalan. Maklum, harga secangkir kopi luwak memang mahal. Di sini, kita harus merogoh 95 ribu perak untuk secangkir saja.

"Kata para ahli kopi, rasa dan aromanya istimewa," Jaya menjelaskan salah satu alasan harga kopi ini sangat mahal. Selain itu, "Langka," ujarnya. Ia mengaku hanya bisa mendapatkan 80-100 kilogram per tahunnya. Itu pun sekitar 80 persen di antaranya dia kirim ke negara lain, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan terkadang Cina, tepatnya Hong Kong.

Menurut pria 29 tahun ini, karena mahalnya kopi ini, banyak masyarakat Indonesia tak berani mencoba mencicipinya. "Kebanyakan orang-orang asing," tuturnya. Padahal, di kafenya, yang dia buka sekitar dua tahun silam, ia juga menyediakan beragam sajian minuman lain, seperti kopi, teh, dan jus, layaknya sejumlah kedai kopi lainnya. Juga tersaji aneka makanan, dari makanan Barat, seperti steak dan pasta, hingga makanan Indonesia.

Menurut pengakuan Jaya, dalam sebulan, kafenya hanya menjual 20-30 cangkir kopi luwak. Lainnya, pengunjung memilih kopi biasa atau menikmati makanannya.Begitu secangkir kopi luwak tersaji di depan mata, aromanya langsung menusuk hidung. "Sedap." Dicecap sedikit tanpa gula pun sudah terasa sedap. "Ada kuncinya," Jaya menjelaskan. Kopi ini harus diseduh dengan air minimal bersuhu 150 derajat Celsius. Kemudian rasakan dulu tanpa gula.Kalau malas ke kawasan selatan atau sedang jalan-jalan di kawasan Malioboro, kita pun bisa mencicipi kopi luwak. Masuk saja ke Mal Malioboro. Di sana kita bisa menemukan "Kopi Luwak".

"Karena di mal, banyak orang yang datang," kata Anas Istiqomah, koordinator waitress Kopi Luwak, yang baru buka sekitar dua tahun lalu.Di Kopi Luwak, kita akan ditawari kopi luwak 100 persen atau biasa disebut authentic dan kopi luwak campuran, di mana kopi luwaknya hanya 3 persen, dinamai high class. Untuk yang authentic, harganya Rp 82 ribu per cangkir. Sedangkan yang campur ada dua jenis, yakni medium dan dark roast, yang masing-masing harganya Rp 18 ribu dan Rp 30.800.

Nah, kalau puas dengan cicipan di kafe dan ingin membawa oleh-oleh, kedua kedai kopi ini juga menyediakannya dalam bentuk kemasan. Kopi Luwak menyediakannya dalam beberapa jenis kemasan. Ada kemasan kotak kertas berisi enam bungkus, yang masing-masing bisa dibuat satu cangkir kopi, seharga Rp 450 ribu, plus pajak. Ada yang kotak kayu. "Yang ini limited edition, stok terbatas," kata Anas. "Harganya Rp 850 ribu."Ada pula yang gift set kopi 150 gram dengan gelas seharga Rp 550 ribu, sedangkan yang tanpa gelas Rp 500 ribu.

Sementara Kopi Luwak menyediakan kemasan untuk kopi bubuk, CIVET hanya menyediakan kemasan biji kopi. "Kalau pembeli ingin digilingkan, juga bisa," kata Jaya. Ia menjual kemasan per 100 gram dengan harga Rp 300 ribu. Menurut Jaya, ini supaya tak cepat hilang aroma kopi luwaknya. Memang mahal. Tapi, bagi pencinta kopi, harga itu mungkin setara. Adapun bagi yang bukan pencinta mati kopi, ini layak menjadi pengalaman sekali seumur hidup.

Sumber: TEMPO Interaktif | Purwani Diyah Prabandari


Posting Komentar

0 Komentar